Penerbangan KE 627, Bangku 38 A KOREAN AIR

Uncategorized

Kalau nonton film terus, aku nggak akan mengenal Korea Selatan, pikirku. Maka menjelang dua hari terakhir Festival CINDI ini, aku jalan-jalan untuk melihat-lihat suasana Korea Selatan, Seoul dan sekitarnya. Aku pengen berkunjung ke komunitas Muslim di Korea Selatan. Ada apa saja yang bisa ditemukan di sana, tentu menarik. Lagi pula aku pengen ke museum. Melihat data kebudayaan dan sejarah bangsa Korea dari dekat.

fullsizerender-7

Malam sebelum closing night aku menghabiskan waktu di Spicy Chicken bersama Tetsu Kono dan Moon Byoung. Malam itu aku janjian sama Moon untuk ketemu esok harinya dan jalan-jalan berkunjung ke museum dan ke Itewon. Tempat tersebut merupakan satu distrik di Korea Selatan yang dihuni komunitas muslim dan di sana banyak orang Indonesia. Aku ingin berkunjung ke Masjid di Itewon. Informasi tentang masjid itu aku dapatkan dari Andy yang kemarin mengantarku jalan-jalan dengan kereta bawah tanah.

Aku bertemu Moon di hotel Sunshine. Komunikasi di Korea ini kalok nggak punya telpon lokal ternyata cukup susah, sehingga akhirnya komunikasi menggunakan chating Facebook dari laptopku. Syukurlah wifinya kencang sekali di hotel. Aku mencoba sms dengan hpku, tapi selalu gagal, aku mengira negara ini tidak menyediakan fasilitas buat profider XL ku, padahal ternyata pulsaku habis. Hahahhaa…

Dari hotel kami jalan kaki ke stasiun dan menggunakan kereta menuju Museum Palace. Perjalanan cukup cepat dan tepat waktu, tidak lambat juga tidak terlalu cepat. Palace adalah museum sekaligus tempat yang dilindungi karena sejarahnya. Di tempat ini ada gedung-gedung lama yang direnovasi sebagai kawasanheritage.

Pemerintah Korea Selatan sangat serius dalam urusan sejarah dan kebudayaan. Di museum itu aku ketemu pelajar Indonesia dan mahasiswa yang sedang foto-foto! Mereka  ada yang dari Aceh, Solo Jawa Tengah  dan beberapa daerah lain. Mereka mewakili Indonesia mengikuti Youth International Forum di Seoul. Kami berkenalan dengan mahasiswa itu. Ada pula kawan-kawan mereka dari Brunai, Malaysia.

Setelah selesai dari putar-putar di Palace, Moon mengajakku makan di restoran masakan Korea langganannya. Menurut cerita yang kudengar dari Moon, restoran itu dikelola oleh orang Korea asli yang letaknya di perkampungan dan bukan restoran waralaba.

fullsizerender-6

Sungguh pengalaman yang mengesankan saat aku dijamu makan siang oleh Moon. Di atas meja lengkap berbagai makanan Korea. Ada tauge, sayuran, Kimchi, daging dan lain-lain. Tak lupa kami minum Sho Ju sebagai penutup jamuan makan siang itu.

“Ini untuk persahabatan, Daniel. Kombeeee ” kata Moon sambil menyodorkan sloki nya.

“Terimakasih untuk makan siang ini, Sahabatku Moon. Kombeeee!” aku menanggapi sambil mengadu sloki.

“Thing…Ting…” Suara gelas beradu, Indonesia dan Korea Selatan dalam kenikmatan makan siang. Kombe sama dengan Kampai, sama dengan Kompei, dan di Jawa ada juga Ngombe, artinya minum, bersulang. Ngombeeeeeeee…! Hahahaa…

Aku melihat makanan di meja banyak sekali, di mangkuk kecil, di piring-piring kecil, bermacam-macam dan aku nggak mengenal namanya. Moon dengan sabar menjelaskan nama-nama makanan itu dan bahan bakunya.

Menurut cerita Moon, Perang menyebabkan bangsa Korea menjalani kehidupan yang keras, bahan makanan sulit dan manusia harus survive denga apa yang ada. Sayuran yang bisa ditanam menjadi bahan makanan utama, itulah kenapa Kimci menjadi makanan utama di Korea, itu adalah makanan yang tercipta karena peperangan.Aku senang bisa belajar banyak dari makanan di atas meja ini. Udah begitu gratis pulak! Dasarrrrr…ndeso! Hehehhee…

Aku kebayang masakan Nusantara, sewaktu aku di Minangkabau, Atjeh, Lombok, dan Sulawesi, setiap kali makan, di meja banyak sekali hidangan yang disediakan, aneka warna dan rasa. Bagi orang Korea, makan sangat penting untuk menjalin persahabatan. Di meja makan nilai persahabatan terbangun. Sungguh menyenangkan.

Perutku melilit, selain kekenyangan nasi, aku juga kekenyangan sayur dan daging.Setalah makan siang kami berangkat ke Itewon. Selain di sana terdapat masjid, ternyata Itewon juga banyak dihuni oleh expatriate dari berbagai Negara. Kawasan ini juga merupakan pusat hiburan malam. Yang menarik dari tempat ini juga terdapat komunitas gay dan lesbian, kasino, restoran dan club-club malam. Komunitas muslim dan masjid besar itu berada di tengah-tengah komunitas itu.

Jalan menuju masjid besar banyak terdapat toko buku Islam dan kitab. Di masjid besar Itewon aku ketemu Hasyim, pemuda asal Indramayu ini bekerja selama beberapa tahun di Seoul. Saat aku temui, Hasyim baru saja melaksanakan sholat dhuhur dan dia mengaku sedang menganggur. Karena itulah ia banyak menghabiskan waktu di masjid besar Itewon. Aku beruntung hadir di Itewon saat bulan Ramadhan, sehingga aku dapat melihat aktifitas Ramadhan di Itewon. Saat aku datang, beberapa orang jamaah masjid sedang mempersiapkan tenda dan karpet untuk acara buka puasa bersama.

Di masjid itu terdapat kegiatan belajar membaca Al Quran dan pengajian. Menyenangkan bisa mengenal komunitas Muslim di Korea Selatan. Aku sempat mencari Al Quran bertulisan Korea tetapi tidak dapat, akhirnya aku membeli buku untuk aku jadikan oleh-oleh buat teman-teman dan handai taulan di Indonesia. Aku membeli buku berbahasa inggris yang mengupas tentang Islam dan Perempuan Islam.

fullsizerender-8

Saat aku menulis ini, aku duduk di bangku pesawat Korean Air. Bangku nomor 38 A Penerbangan nomor ke 627 H. Ahhh….. kembali ke Tanah Air, berarti kembali ke realitasnya. Festival adalah sementara, perayaan adalah sementara, diskursus cinema dunia hanya sementara, gagasan-gagasan besar hanya sementara,

Hehehe…sahur…sahur…sahur….sayup-sayup kudengar suara itu. Setiba di Jakarta nanti segera akan kutemui suasana Ramadhan  di rumah kontrakanku di Gang Arab Pasar Minggu. Marhaban yaaa…Ramadhan. Puasa…*

 

 

CINDI Night

Uncategorized

Korea Selatan

A Two Some Place, Desert Corner

21 Agustus 2011

Aku hadir di Spicy Chicken tadi malam pukul 00:00. Walaupun sudah larut malam tetapi tempat itu  masih saja ramai dipenuhi pegiat film peserta CINDI, mereka asyik ngobrol. Vladimir mengundangku untuk minum bersama. Kemudian kami sempatkan untuk menghadiri Cindi Night.

Kami bersama-sama datang ke ruang pertunjukan di CGV I,  bersama kami director Cindi, So Yun Park, Filmmaker dari Iran bernama Zamani Esmati dan Vladimir. Malam Ini dipertunjukkan film bisu  hitam putih yang diiringi music live.

Aku pernah melihat pertunjukan seperti ini pada film Edwin yang judulnya “Dayang Sumbi.” Pertunjukan filmnya Edwin itu dulu terjadi di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, pertunjukan yang luar biasa aku kayak lihat film Charlie Chaplin.

Pertunjukan film bisu hitam putih kali ini juga luar biasa. Gambar-gambarnya dan editingnya sangat kuat, music menjadi pendukung kekuatan  emosi yang dihasilkan dari komposisi dan gerak gambar. Sayangnya kami terlambat datang ke venue sehingga tidak melihat pertunjukan dari awal.

Rasanya nggak enak terlambat datang ke dalam gedung bioskop, mendapati pertunjukan sudah setengah main dan aku tidak tahu awal dari pertunjukan ini. Di venue inipun aku menyaksikan hanya sekitar 40 menit. Akan tetapi dalam masa 40 menit itu aku mendapatkan pelajaran yang menarik.

Di dalam film itu gambar sangat kuat, hitam putih, editingnya menyisipkan symbol-simbol menjadi montase yang merangsang pengertian tersendiri bagi penonton. Tokoh-tokohnya memiliki karakter yang kuat, menampilkan mimic dan gesture yang sangat menjelaskan karakter atau watak masing-masing.***

fullsizerender-4

Cindi Night malam tadi menggugah gagasan untuk membuat film baru. Aku pengen menyelesaikan scenario film yang mengisahkan bapakku sewaktu bekerja pada perusahaan Indoofood dan memutar film keliling sebagai media propaganda pemasaran produk mie instan itu.

Aku rasa pengalaman sebagai anak pemutar film layar tancap akan menjadi sangat menarik untuk dituangkan ke dalam karya film. Di dalam film itu aku ingin menjelaskan relasi antara media sinema, produk mie instan dan masyarakat penonton.

Setelah dari Cindi Night, kami kembali ke Spicy Chicken,  minum bersama Vladimir, So Yun dan Tetsu Kono. Nama yang terakhir ini adalah pemuda asal Tokyo yang tertidur di bathub kamar hotelku beberapa malam yang lalu. Aku mengajaknya tidur di kamarku karena dia tidak memiliki tempat menginap di kota ini.

Tetsu datang sebagai volunteer di CINDI. Dia adalah penulis film-film pendek dan film alternatif. Pemuda Jepang yang gayanya mirip David Carradin di film “Kung Fu” televisi series ini juga peneliti musik. Dia bercerita pernah tinggal di Brazil cukup lama untuk meneliti musik di sana.

Sudah dini hari, Vladimir pagi nanti pukul 6 akan bertolak pulang ke Singapura. Dia memutuskan untuk begadang dan menghabiskan malam bersama di jalanan Korea. Dari Spicy Chicken kami pergi ke sebuah distrik  bernama Gong Nam, tempat itu merupakan pusat hiburan malam di Seoul.

Dari beberapa orang aku dengar Gong Nam sangat terkenal. Kami naik taxi menuju tempat itu dan sesampainya di sana aku dan Vladimir begitu surprise, melihat pemandangan malam Seoul yang tidak ada di Negara kami masing-masing. Banyak pub malam, diskotik, karaoke, restoran dan pub music yang menyediakan aneka genre musik. Hiburan lengkap di sini.

Di pusat keramaian malam seperti itu, muda-mudi Seoul menghibur diri. Berpasangan, berombongan perempuan dan laki-laki. Perempuan-perempuan Korea yang seksi-seksi memenuhi tempat itu, menjadi pemandangan “cleaning the eyes” yang indah. Di tempat itu aku lihat setiap orang haus menghibur diri sendiri.

Jadi ingat kawasan Hayam Wuruk dan Bongkaran pinggir rel Tanah Abang. Tapi kedua tempat itu tidak seramai Gong Nam. Di tengah situasi yang ramai itulah tiga orang laki-laki, dari Singapura, Jepang dan Indonesia duduk di trotoar mengamati situasi dengan sebotol coca cola dan rokok Gudang Garam merah. Cadas banget gak sih? Hahaha…

Kami bertiga masuk ke dalam warung tenda. Tidak ada kursi tersisa, semuanya diduduki orang makan. Warung itu seperti angkringan di Jogja. Kami memutuskan berdiri minum bir sambil membicarakan segala pengalaman yang kami dapatkan selama beberapa hari ini di Korea.

Vladimir banyak berdiskusi dengan Testu tentang Brazilian Music. Gong Nam malam tadi penuh dengan cahaya neon box dan kerlap kerlip lampu warna-warni. Sementara gadis-gadis Seoul dengan dandanannya masing-masing asyik merayakan kehidupan bersama pasangannya. Aku nggak bisa membedakan mana di antara mereka yang artis. Semuanya kayak artis. Semua cantik cantik, putih putih, kayak iklan klinik kecantikan yang banyak tersebar di stasiun dan jalanan kota Seoul.

fullsizerender-5

Vladimir membawa kisah seru dari Serbia kepadaku. Aku rasa dari setiap ceritanya, Vladimir ingin menceritakan kehidupan di Serbia yang suram akibat perang dan pasca runtuhnya Yugoslavia.

Aku bisa merasakan kesuraman itu dari filmnya  “Water Hands”. Film itu  adalah representasi dirinya atas realitas yang ia hadapi selama ini. Di film itu, Vladimir memuja penonton dengan gambar-gambar yang indah, namun ceritanya mengandung kesedihan, harapan, pertemuan dan kehilangan. Menyaksikan “Water Hands” adalah menyaksikan keganjilan realitas.

Bagaimana mendengar seorang Gadis menunggu Sang Pelaut, kekasihnya. Akan tetapi Sang Pelaut berada entah di mana? Vladimir menceritakan kepadaku tentang konflik yang pernah merundung kampung halamannya, Serbia. Ia bercerita tentang perempuan dan Ibu-Ibu yang selalu menangis sepanjang tahun karena konflik dan kekerasan yang merundung negeri itu. Bagaimana rasanya mengalami negara yang terpecah belah? Bagaimana rasanya kehilangan negara?

Vladimir menceritakan kepadaku tentang pengalamannya mengorganisir ‘Seni Politik” dan bekerja pada NGO yang memberdayakan seniman-seniman Serbia. Namun pada suatu acara pameran bersama, sebuah kelompok gangster merusak karya-karya yang dipamerkan.

Akibat peperangan yang terjadi di Serbia sekolah luluh lantak karena serangan bom, Kehidupan Vladimir dan warga Serbia lainnya sangat menyedihkan. Ketika aku memperlihatkan foto Ibuku kepada Vladimir, Vladimir membuka ipodnya dan menceritakan tentang Ibu dan Saudara-saudaranya. Turut serta dalam diskusi kami ini kawan dari Iran, Zamani Esmati, ia hanya diam mendengarkan kami berbincang dan sesekali merekam dengan handycamnya.

fullsizerender-3

Dari obrolan di Spicy Chicken semalam aku mendapatkan makna bahwa keluarga adalah yang terpenting di dalam hidup ini. Filmmaker seperti Vladimir, Zamani, dan aku memiliki perspektif yang sama dalam hal ini. Walaupun Zamani dan aku belum menikah akan tetapi pengalaman sebagai anggota keluarga menguatkan perspektif bahwa keluarga itu penting dalam kehidupan ini.

Dalam realitas konflik, setiap tentara hanya bagian dari pasukan. Tetapi di luar konflik, setiap tentara merupakan anggota dari keluarga. Setiap keluarga menanggung segala permasalahan konflik.

Vladimir menceritakan banyak hal dari pengalaman hidupnya, bagaimana kemudian ia menikah dan menentukan pindah ke Amerika untuk belajar di sebuah universitas di ST. Barbara. Kini ia tinggal di Singapura dengan seorang istri dan dua anaknya. Vladimir mengajar di NTU (National Technology University). Ia dan keluarganya berbahagia. Bagiku, ini adalah cerita yang menarik untuk dikisahkan melalui film dengan judul yang sederhana “Cerita Vladimir”.

Tadi aku antarkan Vladimir hingga ke pintu hotel, ia menyeret kopernya disambut panitia, gadis-gadis cantik berkulit putih-putih berkaos oblong warna pink dengan celana pendek. Sesaat kemudian ia sudah bergerak menuju bandara.

Dari jendela Sunshine Hotel di kota Seoul, aku melongok Indonesia yang jauh. Aku nggak kebayang bagaimana jika negeri ku seperti Yugoslavia.*

 

 

PESAN SINGKAT DARI CINDI

Uncategorized

 

Pada akhir cerita, dengan sangat cerdas, Pushpakumara menampilkan adegan sebuah bus tua yang berkarat, berjalan di jalanan sepi, di dalam bus tanpa sopir itu terdapat berbagai simbol agama, di dalamnya hanya terdapat dua penumpang lelaki dan perempuan.

 

Ruang Tunggu Airport

Incheon, 24 Agustus 2011

Ajang festival film yang digelar di Korea Selatan, Cinema Digital Seoul Film Festival (Cindi) telah berlangsung pada 17 – 23 Agustus 2011. Ratusan film hasil seleksi dan kurasi dari dewan juri memeriahkan festival film yang sederhana, tetapi cukup penting dalam menghubungkan peta potensi perfilman Asia.

cindia

Cindi terbagi dalam beberapa kompetisi dan award, yakni Asian Competition, Red Chameleon, Blue Chameleon, Green Chameleon dan White Chameleon serta Butterfly award serta Movie Collage Award.

Film-film yang mengikuti kompetisi datang dari berbagai negara antara lain; Indonesia, Srilanka, Jepang, Tibet dan China, Korea Selatan, Singapura, Serbia Montenegro, China, Thailand, India dan Prancis, Iran, Mongolia.

Cindi merupakan titik pertemuan film-film yang membawa gagasan-gagasan baru. Setiap film menyampaikan pesan yang dapat memberikan pandangan kepada penonton tentang situasi social, politik, kebuadayaan, yang terjadi di setiap negara, dimana para pembuat film itu berada.

Film yang dipertontonkan dalam ajang Cindi dapat dikatakan sebagai film dengan tema alternatif, tema yang diambil kebanyakan sangat personal. Nilai hiburan yang dimiliki film Hollywood nampaknya harus disimpan di dalam almari, oleh karena ketika menonton film-film di Cindi, para penonton akan melihat film sebagai bagian dari kesaksian dan jembatan menyampaikan realitas yang biasanya menyangkut masalah sosial politik, dan kritik terhadap suatu kebijakan Negara dimana filmmaker itu berasal.

“Fliying Fish” yang disutradarai oleh Sanjeewa Pushpakumara dengan sangat berani memaparkan wajah Srilanka yang diselimuti konflik dan militerisme. Tokoh pada film itu merepresentasikan pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan konflik di negara tersebut. Penokohan sosok Tentara, Ibu rumah tangga dan kerepotannya sebab memiliki banyak anak, Seorang pendeta Budha yang gemuk dan lamban berjalan, Seorang anak laki-laki yang berusaha membantu perekonomian keluarganya, Orang tua stress yang tidak puas keadaan di sekitar lingkungannya, perempuan muda yang menjalin hubungan dengan seorang komandan tentara dan terjebak dalam kegemaran melakukan hubungan sex, seorang bapak yang dilematis karena pekerjaan, semuanya kisah tadi disampaikan dalam adegan demi adegan yang sangat kuat memaparkan problem social, politik Srilanka.

Pushpakumara yang mendapat beasiswa belajar film di Seoul oleh pemerintah Korea Selatan, dengan sangat berani “membunuh” semua tokoh yang ada di dalam film itu. Pada akhir cerita, dengan sangat cerdas, Pushpakumara menampilkan adegan sebuah bus tua yang berkarat, berjalan di jalanan sepi, di dalam bus tanpa sopir itu terdapat berbagai simbol agama, di dalamnya hanya terdapat dua penumpang lelaki dan perempuan.

Akhir dari fiksi berdurasi 125 menit ini seperti mengajak setiap penonton mengingat kembali kisah Adam dan Hawa yang terlempar ke dunia karena dosa, dan dosa itu tidak memberikan petunjuk arah pada masa depan umat manusia di kemudian waktu hingga hari ini.

cindib

Film “Old Dog” memaparkan banyak sekali simbol yang menunjukkan bahwa sang sutradara sangat cerdas dalam memaparkan realitas melalui semiotika. Penonton diajak mengurai satu persatu simbol visual dan audio untuk menterjemahkan realitas masyarakat Tibet hari ini.

Pema Tseden, sang sutradara membuka filmnya dengan sosok seorang pemuda Tibet yang mengendarai motor buatan Jepang merk Honda. Sang pemuda itu membawa anjing tua yang berlari-lari dengan leher terantai mengikuti sang pemuda. Latar belakang adegan itu adalah kesibukan pembangunan kota kecil dan Tibet yang mulai berubah. Anjing itu adalah milik ayah si Pemuda. Kepada seorang pembeli anjing, si Pemuda menjual anjing itu.

Selanjutnya “Old Dog” memaparkan tokoh-tokoh dalam film tersebut. Seorang penggembala tua ayah sang pemuda yang berusaha mendapatkan kembali anjingnya dengan bantuan anak angkatnya yang seorag polisi di distrik tersebut.

Banyak adegan ganjil di “Old Dog” yang merupakan simbol untuk diterjemahkan. Seorang lelaki yang bermain biliard sendiri di pinggir jalan, lelaki tua yang berkendara kuda kontras dengan pemuda berkendara motor Honda, gembala yang menggiring ternaknya di antara pembangunan konstruksi besi beton, tukar menukar pemantik api dan dialog panjang antara orang tua sang gembala dengan si pemuda tentang kapan ia memiliki keturunan atau anak. Sekolah dan rumah sakit yang berbendera China dan baliho raksasa yang menyampaikan propaganda pemerintah China terhadap masyarakat Tibet untuk menyudahi mitos, dan saatnya menggenjot reproduksi.

Pema Tseden dengan berani menyisipkan adegan sang gembala membunuh anjing tua penjaga dombanya. Di akhir film berdurasi 88 menit tersebut Sang gembala tua berjalan menaiki bukit menuju arah yang tak dapat diprediksi. Adegan ini seperti hendak mengingatkan penonton kepada sosok Dalai Lama yang tengah memperjuangkan kemerdekaan Tibet dari kolonialisasi China. Sementara itu tahun demi tahun harapan terhadap kemerdekaan itu kemudian menjadi pertanyaan besar. Ke mana arah perjuangan Dalai Lama dan kapan kemerdekaan Bangsa Tibet itu akan terbit?

Kedua film yang terbahas di atas merupakan mendapatkan penghargaan terbanyak dalam festival film Cindi. Kesederhanaan teknik dan cara bertutur dan tema yang kuat menjadi alasan utama dewan juri menganugerahkan penghargaan kepada kedua film tersebut. Satu lagi penghargaan diberikan kepada Tong sutradara dari China dengan filmnya yang berjudul “Shattered’.

Shattered mengisahkan sebuah cerita dari dalam wilayah Dongning, Provinsi Heilongjiang di timur laut China. Tang Xinxin berusia 80 tahun hidup dalam kesepian.

Pada musim dingin tahun 2009, anak-anaknya yang sekarang tersebar di seluruh negeri, berkumpul di kampung halaman mereka, untuk menghabiskan hari tahun baru dengannya.

Setelah sukacita singkat itu dia menyampaikan pendapat kepada kedua orang putranya yang meninggalkan rumah. Sementara putri bungsunya bernama Caifeng juga kembali ke kota untuk mencari nafkah. Tang, yang telah menyiapkan peti mati untuk dirinya sendiri mewakili wajah manusia tua di musim dingin kesepian dan sunyi sendiri.

Dokumenter ini mengisyaratkan China sebagai negara yang menggenjot ekonomi dan produktivitas, tetapi pada kenyataannya hubungan manusia antar manusia, terutama keluarga harus dikorbankan demi kepentingan ekonomi dan pekerjaan.

cindic

Di setiap film, kita dapat melihat kegelisahan yang tertuang di dalam cerita film. Kegelisahan tentang keadaan manusia di era globalisasi dan transisi-transisi antara mesin produktifitas ekonomi, kebijakan negara, benturan nilai-nilai identitas lokal dan global, terorisme dan pertanyaan terhadap peran agama dalam menyelesaikan persolan manusia.

Festival Cindi yang berakhir pekan lalu hendak menyampaikan pesan tentang keadaan manusia hari ini dan sebuah pertanyaan tentang masa depan kemanusiaan dan manusia itu sendiri.

Ruang gelap sinema menjadi semacam ruang syi’ar, atas kenyataan manusia hari ini. Lantas, quo vadis kemanusiaan di luar ruang gelap itu?*

Anak Tokyo Tidur di Bathub

Uncategorized

Sunshine Hotel,

Seoul, Korea Selatan,

19 Agustus 2011

Ini kisah tentang pemuda asal Jepang. Perawakannya kurus, rambutnya panjang di bawah bahu, jalannya santai kayak naga lapar, kemana-mana menyandang tas dan menjinjing tas kresek besar. Isinya pakaian, botol minuman mineral, kotak kartu nama dan katalog film festival. Dia ramah pada setiap volunteer dan setiap pengunjung festival, ia mudah akrab dengan siapapun.

cindiiv

Kamera pocket yang dia kalungkan bersama dengan Badge Festival tidak pernah lepas dari lehernya, beberapa kali aku lihat dia dengan kamera pocketnya mejeng minta foto sama filmmaker atau juri.

Pemuda ini selalu memeriksa dengan detail isi katalog film festival. Pemuda ini menceritakan, dari katalog itulah dia mendapatkan informasi tentang siapa saja yang berada di dalam perhelatan ini. Itulah mengapa kemudian dia seperti sudah mengenal orang-orang yang dia ajak berfoto bersama. Itulah orang yang ia tahu dari katalog festival.

Pemuda ini jarang pegang gadget, ia tidak minum Sho Ju atau Bir, dia bebas dari alkohol. Aku lebih sering melihat dia minum Coca cola atau membawa air mineral berukuran besar. Ia nampak begitu menikmati festival film, namanya Tetsu Kono pemuda pecinta film dan festival tinggal di Tokyo.

Perkenalanku pertama kali dengan Tetsu terjadi di acara Cindi Hapy Hours setelah acara pembukaan. Pada malam pembukaan itu aku juga bertemu Vladimir Todorovic, orang yang serius itu kesan pertama kali yang aku dapat tentang dia.

Vladimir berasal dari Serbia dan kini menetap di Singapura sebagai deputi professor dan mengajar di Nanyang University (NTU). Pada malam pembukaan itu pula aku bertemu kawan yang pernah bertemu di Dubai, namanya Mun Jeong Hyun . Akhirnya kami yang baru bertemu ini begadang sampai pagi.

cindyi

Setelah acara Hapy Hours kami lanjut ngobrol di Café depan Sun Shine Hotel. Tetsu Kono bergabung di meja kami malam itu. Tetsu sangat gemar nonton film dan suka dengerin music. Tetsu dan Vladimir berbincang tentang musik. Tetsu menceritakan pengalamannya melakukan riset music di Brazil selama beberapa tahun. Kami berdiskusi tentang musik Amerika latin. Satu di antaranya adalah tentang Buena Vista Siocial Club. Herzog membuat film tentang mereka. Maaf, maksudku bukan Werner Herzog tetapi Wim Wenders pada 1999.

Tetsu banyak memiliki referensi pustaka maupun musik Amerika Latin. Aku senang mendengarkan Vladimir dan Tetsu berdiskusi. Tapi nampaknya pemuda dari Tokyo ini nggak terbiasa begadang, berkali-kali ia menguap. Memasuki dini hari dia sudah tertidur di meja. Aku dan Vladimir sampai membangunkannya saat mengakhiri obrolan Subuh itu karena café tutup.

Aku dan Vladimir berpisah dengan Mun yang pamit pulang ke rumahnya, sementara Tetsu terlihat kepayahan karena mengantuk. Aku bertanya di mana dia menginap. Dia bilang tidur di stasiun Kereta. Entah benar entah tidak, tetapi dia bercerita bahwa dia tidak menginap di hotel dan tidak menginap di rumah teman.

Aku mempersilahkan dia tidur di kamarku. Bisa jadi ini adalah kesalahan jika mengikuti prosedur sebagai perantau di negeri orang yang belum tahu tentang adat istiadanya. Tapi aku hanya berpijak pada alas an solidaritas dan kemanusiaan. Kota ini dingin, seorang pengelana festival film tak punya tempat tidur kecuali di stasiun. Dalam situasi Seoul yang dingin saat itu, apa salahnya berbagi ruangan untuk kawan yang tidak punya tempat tinggal.

Kami masuk ke Sunshine Hotel. Setelah membersihkan diri, aku langsung tidur, Tetsu dengan sopan meminta ijin kepadaku untuk boleh memakai kamar mandi. Aku mempersilahkan dia memakai kamar mandi dan akupun langsung take off ke negeri impian. Aku hanya tidur beberapa jam saja pagi itu, karena festival dimulai sejak pagi dan aku akan menghadiri beberapa acara.

cindiii

Aku kira pemuda Tokyo itu sudah bangun duluan dan pergi ke Festival, ternyata tidak. Aku terkejut ketika mendapati dia tertidur di bathub Ketika aku bangunin, dia sempat terkejut dan minta maaf berkali-kali. Aku tertawa ngakak karena baru kali ini melihat orang tidur di bathub dengan air masih merendam setengah badannya.

Tetsu bertanya kepadaku, “Daniel, kenapa kamu tertawa?”

Aku masih terpingkal-pingkal ketika menjelaskan kepadanya bahwa di Indonesia tidur semacam ini sungguh aneh. Dan mungkin di dunia ini tidak ada yang tidur seperti dirinya.

“Apakah saya melakukan kesalahan, Daniel?” Tetsu kembali bertanya kepadaku.

“No problem, Kawan. Ini hanya lucu dan seperti adegan yang berpotensi filmis”. Jawabku.

Dia mentas dari bathub. Aku bilang kalau aku akan menggunakan kamar mandi. dia membereskan diri. Aku menunggu sambil nonton televisi yang memutar tayangan propaganda Korea Selatan yang mengingatkan masyarakat pada sejarah perjuangan mereka.

Terbayang olehku, film televisi berseri yang dibintangi David Carradin, “Kung Fu”. Tetsu seperti tokoh di film itu yang sedang mendapatkan pelajaran dari gurunya, Master Po.

Master Po

“Close your eyes. What do you hear?”

 Young Caine

“ I hear the water… I hear the birds…”

 Master Po

“ Do you hear your own heartbeat?” 

Young Caine

“No.”

Master Po

“Do you hear the grasshopper which is at your feet?”

Young Caine

“Old man…, how is it that you hear these things?”

 Master Po

“Young man…, how is it that you do not?” 

 

I wanna tell to Tetsu the Kung Fu, “Tetsu, you hear the water flowing from the faucet to bathtub, and you do not do what that old man do not do. What is that?”

“Sleeping in the bathtub!”

***

cindiiii

Pagi ini aku mencoba menu sarapan Kimci. Aku sendiri seumur-umur baru pertama kali makan kimci. Perutpun jadi bermasalah. Sebelum berangkat ke acara festival, aku beberapa kali ke toilet menyelesaikan persoalan perutku. Kenyataannya, aku bisa “Makan” film Korea, tetapi untuk Kimci, aku butuh penyesuaian diri.

Tetsu pagi ini melanjutkan perjalanannya keliling acara festival. Dia akan menonton beberapa film dan foto-foto bareng dengan ikon yang ia cari. Aku sampaikan kepadanya, jika malam tiba dan dia tidak tahu di mana akan tidur, silahkan datang ke kamarku untuk istirahat.

Dia mengangguk, dan menghilang di tikungan jalan.

To be continued.:)*

CINDI

Uncategorized

17 Agustus 2011

Pukul 08:00 Waktu Korea Selatan

Korean Air mendarat dengan tenang di landasan bandar udara Incheon pagi ini. Dari jendela Korean Air aku menyaksikan suasana basah dan berkabut, nampaknya baru saja turun hujan? Musim apa ini di Korea? Nggak sempat cek di google bulan Agustus begini di Korea lagi musim apa.

fullsizerender-2

Suasana basah menyambutku pagi ini. Alhamdulillah, proses di imigrasi tidak terlalu bertele-tele.

“Film Festival?” Tanya petugas imigrasi sambil menatapku sejenak

“Yes, I attended to Cindi Film Festival, Sir” Jawabku

Petugas itu lantas membubuhkan stempel pada passport hijauku dan tersenyum.

 “Welcome to South Korea, Sir!”

“Kamsahamidah” jawabku kepada petugas imigrasi, mendengar suaraku tadi, dia tertawa kecil.

Aku menerima paspor dari tangannya lalu bergegas menuju tempat pengambilan bagasi. Bandara Korea terekam di ingatanku sebagai kaca-kaca. Tembus pandang dan bersih. Sambil menunggu antrian keluar, aku sempatkan berak terlebih dahulu di toilet bandara. Toiletnya bersih dan nyaman untuk jadi tempat merenung beberapa menit setelah perjalanan panjang dari Jakarta. Koperku sudah menunggu di gate 7B dan aku segera mengangkatnya.

Di pintu keluar sudah ada seorang gadis dengan kertas besar bertuliskan MR. Daniel Rudi Haryanto, Indonesia. Ia bercelana pendek dan berkaos warna pink dengan identitas festival di kalungkan di lehernya. Namanya Eun Bee. Aku memanggilnya Queen Bee dan gadis Korea Selatan yang cantik itu segera tersipu malu disapa dengan nama itu oleh seorang pemuda Indonesia ini. Ia menyambutku dengan ramah. Kemudian mempersilahkan aku menunggu di ruangan tunggu yang telah disediakan. Queen Bee memintaku menunggu beberapa saat karena ia sedang menyambut beberapa filmmaker yang datang dari beberapa Negara.

Rasanya pagi ini aku pengen segera menikmati kopi hitam dan sebatang sigaret. Tetapi Korea Selatan tidak seperti Indonesia yang bisa gampang dapat kopi dan gampang nyulut sigaret. Aku hanya menunggu dan menulis catatan ini di kursi ruang tunggu.

Rombongan filmmaker Thailand muncul, satu diantaranya aku kenal namanya dari google. Namanya Penek Ratanaruang. Ia adalah filmmaker asal Thailand yang cukup terkenal di berbagai festival internasional. Tiga pemuda di sampingnya aku belum kenal, ternyata mereka adalah filmmaker independen yang mengusung film berjudul “Lumpine”. Itulah pertemuan awal dengan Nong, Chira dan Banphot tiga anak muda yang enerjik.

cindi1

Queen Bee mengantar kami ke mobil jemputan di luar bandara. Kami menuju hotel tempat semua filmmakers peserta CINDI (Cinema Digital) Film Festival menginap. Ini kali pertama aku melihat pemandangan kota Seoul. Sejak keluar dari Bandara Incheon aku mendapati Korea Selatan berbukit-bukit dengan rimbun pohon-pohon yang terjaga menjadi hutan.

Pepohonan lebat tumbuh di perbukitan, suasan hijau lestari menyenangkan hati. Jalan tol lengang, gerimis jatuh dari langit, teman-teman baruku dari Thailand ngobrol menggunakan bahasa mereka. Aku nggak tahu apa yang mereka obrolkan. Kadang-kadang nongol kosakata yang sama seperti bahasa Jawa atau Melayu, tapi aku nggak berani mengartikan sendiri, bisa jadi beda arti, sama halnya bahasa Tagalog yang digunakan kawan-kawan filmmaker dari Mindano Selatan, Philipina.

 Memasuki Seoul, jalanan terlihat ramai walaupun bukan kemacetan. Di sebelah kiri terdapat sungai besar yang panjang, Queen Bee menjelaskan sungai itu bernama Sungai Han, sungai yang bersih dari sampah merupakan sungai utama di Seoul. Lebar sungai itu seperti sungai Musi di Palembang atau Kapuas di Borneo. Jembatan-jembatan panjang, setelah melewati beberapa terowongan yang menembus perbukitan kami mulai melihat Seoul.

Jalanan kota Seoul juga tidak terlepas dari macet, tapi nggak seperti di Jakarta. Kemacetan Jakarta Na’udzubillahi mindzalik, kemacetan yang nggak masuk akal bikin cepat stress. Jalanan macet di Seoul ini mudah terurai. Nggak tahu ya kalok di Seoul bagian lain? Hihihi…

Queen Bee volunteer yang ramah. Dia selalu menampakkan wajah gembira. Berbalut kaos pink dan celana pendek jeans warna biru, dalam batin aku berbisik, “Ini K Pop banget, nggak papa deh macet lama-lama asalkan ada Queen Bee menemani perjalanan ini”. Halaaaah! Pret!

cindi.jpg

Hari ini 17 Agustus 2011, Indonesia memperingati proklamasi kemerdekaan ke enam puluh enam tahun, aku berada di Seoul, Korea Selatan yang memiliki kemerdekaannya sendiri. Dari jendela mobil aku melihat pemandangan Seoul. Kota yang bersih, berhias bangunan dan tulisan-tulisan Korea yang tak aku mengerti.

 Queen Bee menyadarkan lamunanku, ia menyampaikan kepada kami bahwa sebentar lagi kita akan tiba di hotel Sunshine, dia meminta kami untuk bersiap turun.  Tak berselang lama, kami memasuki halaman hotel Sinar Matahari itu. Beberapa volunteer menyambut kami dengan ramah sekali. Mereka seperti Queen Bee, berkaos pink dan bercelana jeans pendek warna biru, menyuguhkan senyum mentari yang bersinar di hati para filmmaker sepertiku. Halaaaahh! Pret! *

 

Lost in Dubai Airport

Uncategorized

Ahlan Lounge,

Dubai International Airport- Jumeria Beach Hotel,

12 Desember 2010

dubaii

Pagi ini pesawat Emirates mendarat dengan mulus di Dubai International Airport setelah delapan jam nonstop perjalanan udara dengan pesawat yang besar dari Jakarta. Sesuai dengan keterangan yang ada di itinerary festival, aku harus segera menemui panitia di Ahlan Lounge untuk registrasi kedatangan. Panitia akan mengantar setiap filmmaker ke hotel yang dituju.

Dubai International Airport gede banget. Banyak sekali pintu-pintu keberangkatan. Aku menjumpai berbagai macam manusia dengan warna kulit, warna mata, gaya berpakaian, kewarganegaraan, dan bahasa yang berbeda. Aku tidak langsung mencari Ahlan Lounge, melainkan pengen jalan-jalan dulu melihat suasana baru. Dari ujung bandara satu ke ujung yang lain, masuk ke toko satu ke toko lain, maka sampailah aku bertemu dengan kolam ikan dan taman buatan yang masih ada di dalam kompleks bandara.

Para traveller terlihat di sekitar kolam yang airnya gemericik meneduhkan. Mereka sebagian tidur, beristirahat sambil menunggu penerbangan berikutnya. Sebagian yang lain membaca buku dan sebagian lainnya berbincang sambil menikmati kopi dalam cangkir styrofoam.

Gak sadar sudah sekian belas menit aku jalan-jalan dan melihat-lihat hal-hal baru. Kesibukan aktifitas bandara ini membawaku pada kebingungan. Aku sempat lost in Dubai Airport selama setengah jam lebih. Keasyikan menikmati pemandangan toko-toko bebas pajak. Melihat-lihat barang-barang mahal yang dipajang di etalase-etalase yang mahal-mahal. Ada parfum, cerutu Cuba bergambar Ernesto Che Guevara, baju, jas, tas, sepatu, jam tangan, minuman, makanan, rokok, topi, peralatan travelling, cokelat berbagai merk, serta oleh-oleh souvenir dan lain-lain. Semuanya mahal-mahal tapi aku sadar nggak bisa membelinya. Hehehe.. dasar ndeso

“Oh…inilah yang namanya glamour, kemewahan” bisikku dalam hati menyaksikan berbagai macam hiasan kehidupan yang ada di airport. Benar saja di bandara yang letaknya di teluk dan berpadang pasir ini ternyata ada kolam yang dihiasi taman dengan batu-batuan, di taman itu tumbuh tanaman tropis beneran, aku pegang daunnya, beneran! Bukan jenis tanaman plastik made in Cina yang sering dijumpai di Jakarta. Dubai Airport bagiku seperti pintu gerbang yang sengaja diseting sedemikian rupa untuk menyambut para pendatang dengan menyuguhkan pemandangan pencapaian negeri kaya Uni Emirate Arab (UEA).

dubaiii

Aku mendatangi petugas informasi dan bertanya di mana letak Ahlan Lounge. Seorang petugas mengantarku hingga tiba di Ahlan Lounge dan bertemu dengan panitia untuk melakukan registrasi kedatangan. Sewaktu aku mengaktifkan selulerku, beberapa sms dari Indonesia masuk. Satu di antaranya dari Mas Garin Nugroho yang menanyakan apakah aku sudah sampai di Dubai atau belum. Mas Garin berangkat kemarin dengan maskapai yang sama dengan yang aku tumpangi, Emirates.

Aku membalas sms Mas Garin bahwa aku sudah sampai dan sedang mengurus beberapa keperluan registrasi di bandara. Alhamdulillah, di Jakarta aku sempat isi pulsa XL ku 100 ribu rupiah. Ternyata membalas sms beberapa kali sudah menyedot pulsa sekian puluh ribu. Mahal bener harga komunikasi di sini, umpatku. Aku juga membalas sms dari sahabatku Hasna, yang tinggal di Dubai. Hasna adalah sahabatku, dia filmmaker juga dari Jogja yang menikah dengan kontraktor asal Dubai dan negeri ini. Hasna memberikan informasi-informasi tentang Dubai kepadaku melalui pesan elektronik.

Teringat beberapa hari sebelum ini, aku menemui Edwin Blindpig di kantornya di Jeruk Purut, untuk bertanya-tanya tentang bagaimana sih suasana film internasional di luar negeri? Di warung kopi sachet pinggir jalan Jeruk Purut siang itu, Edwin menceritakan pengalamannya dan itu sangat membantuku untuk memahami situasi festival.

Panitia mempersilahkan aku untuk memilih tempat duduk, mereka bilang supaya aku menikmati sarapan dan ngopi-ngopi dulu sambil menunggu kedatangan tamu lainnya. Tamu-tamu yang berbarengan datang denganku sudah berangkat ke hotel diantarkan mobil panitia.

Aku sendirian saja duduk di sofa warna krem dengan cemilan pertama tersaji di meja. Seorang perempuan datang ke arahku dan menyuguhkan biscuit aroma kelapa? dan Kurma! Ya, sarapan pagi pertama di Dubai dengan kurma dan biscuit rasa kelapa dan secangkir kopi hangat yang membuatku nggak jadi mengantuk. Panitia itu bernama Katleen, entah dari negara mana asal perempuan muda yang menyediakan cemilan dan kopi ini. Dari wajahnya aku rasa dia berasal dari salah satu negara Asia.

Panitia pertama yang aku temui adalah Fahad Ebrahim Al Shehhi, dia duduk di sudut Ahlan Lounge dengan tumpukan kertas daftar filmmakers dan penggiat perfilman peserta DIFF 2010. Aku sempatkan berfoto narsis dengan mereka. Mereka menyambutku dengan ramah.

Bahasa Arab mereka sedikit-sedikit aku tahu, karena sedikit tahu maka aku belum tentu paham. Paling nyambung saat aku pertama masuk ke Ahlan Lounge, aku memberikan salam, “Assalamualaikum ya akhi” mereka menjawab dengan “Wa Alaikum Salam, ahlan wa sahlan”. Mereka sedikit terkejut karena mendapatkan salam dari orang bukan Arab.

Setelah mengisi beberapa kertas formulir, aku baru tersadar bahwa aku belum sempat mengambil koperku. Aku meminta tolong panitia untuk ditunjukkan di mana letak bagian lost and found? Aku hendak mencari koperku!

dubaiiv.jpg

Seorang panitia mengajakku keluar dari Ahlan Lounge, aku mengikutinya dari belakang. Benar saja, koperku sendirian muter-muter sendirian di mesin pengantar bagasi pada gate kesekian itu. Panitia DIFF sangat sigap dan professional. Aku melihat beberapa orang datang, wajah mereka menyiratkan kelelahan dari perjalanan jauh. Panitia segera melayani mereka dengan ramah.

Panitia DIFF menyediakan kenyamanan dalam pelayanan kepada setiap peserta festival yang hadir. Suatu pengalaman yang berharga, mereka memberikan apresiasi yang baik kepada filmmakers sebagai tamu.

Setiap peserta festival diantarkan dengan menggunakan fasilitas mobil dari panitia festival. Sejak dari Ahlan Lounge, koper udah dibawain sama petugas. Hingga di tempat pemberhentian mobil penjemputan, panitia yang mengurus kami memasukkan koper ke bagasi di belakang mobil.

Aku tidak tahu jenis mobil apa yang sedang aku tumpangi untuk mengantarkan aku ke hotel tempat menginap selama di DIFF 2010 ini. Aku melihat seseorang berdiri menunggu. Di Ahlan Lounge aku sempat berkenalan dengannya, namanya Shahin Parhami filmmaker dari Iran yang tinggal di Kanada. Aku mengajak Shahin masuk ke mobil untuk berangkat ke hotel bareng, kebetulan hotel kami adalah hotel yang sama.

Di perjalanan menuju hotel aku memiliki kesempatan lebih banyak untuk berbincang dengan Shahin tentang film, tentang situasi negaranya Iran, tentang berbagai hal terkait perkembangan film dan kebudayaan. “Amin” judul filmnya, termasuk peserta kompetisi Muhrer Asia bersama film kami Prison and Paradise.

Mobil yang kami tumpangi berjenis sedan melaju dengan ringan sangat nyaman menuju hotel, aku mencoba mengidentifikasi ini mobil sedan apa, atau mungkin karena aku belum pernah naik mobil kayak gini jadi bagaimanapun rasanya jauh lebih nyaman daripada naik angkot M16 Jurusan Kampung Melayu Pasar Minggu. Aku sempat minta tolong kawan Shahin motret aku, lumayan ada kenangan di mobil mewah. Hahaha…

Matahari serasa menyengat sepagi ini, saat aku meninggalkan bandara tadi waktu telah menunjukkan pulul 9:00 pagi waktu Dubai.  Sungguh menakjubkan, tadinya aku membayangkan Dubai adalah padang pasir tandus, ternyata kenyataannya di depan mataku tidak demikian. Sepanjang perjalanan aku menyaksikan jalanan dihiasi bunga warna-warni yang ditanam di kanan dan di kiri dan tengah jalan utama dari bandara menuju ke kota. Rumah-rumah, gedung-gedung tertata rapih, banyak terlihat Mall dan mobil mewah di jalanan.

Jalanan Dubai berukuran lebar-lebar, hiasan warna warni dari bunga di sepanjang jalan menambah semarak dan membuat mata rileks.Dubai seperti “The Metropolis” karya Fritz Lang yang pertama kali kutonton saat kuliah film semester awal di FFTV IKJ.Perjalanan dari bandara ke hotel seperti menyaksikan pertunjukan film tentang tembok-tembok dan mesin-mesin modern yang mahal. Itulah kesan pertamaku tentang kota ini.

Setiba di lobby hotel, minuman jeruk dingin disuguhkan kemenyambut kami. Seorang petugas hotel menyodorkan handuk dingin kepada kami yang baru datang. Filmmakers antri di depan meja resepsionis. Aku lihat mereka mendapatkan handuk dingin juga. Menempelkan handuk ke wajah mereka. Aku meniru apa yang mereka lakukan, dan ternyata, Mak nyessss…. Rasanya wajah ini seperti menemukan oasis di tengah padang pasir tandus kering. Segar wajahku, jus jeruk welcome drink membuat segar kerongkonganku dari rasa haus.

Ini hotel besar banget, pohon cemara menjulang ke atas dengan berbagai hiasan. Ini Dubai, UEA, tetapi ada pohon Natal. Mereka ternyata natalan juga. Hotel ini letaknya strategis, di pinggir pantai, terhubung dengan berbagai hotel lain sepanjang pantai Dubai. Aku sempat menyaksikan tadi gedung yang seperti layar di pinggir laut itu.

Itu gedung yang sering aku lihat di berbagai informasi tentang Dubai. Waaaaahhhh…aku sampai di sini. Panitia terlihat sibuk, mereka volunteer yang mengingatkan aku kepada Jakarta International Film Festival. Aku membayangkan kalau ada asosiasi volunteer film di seluruh dunia ini pasti akan menyenangkan.

dubaiiii

Banyak hal-hal baru yang aku temukan dalam perjalanan dari Jakarta ke tempat ini. Aku masih kebayang tadi pagi lost in Dubai Airport. Dan saat ini bocah kampung yang pengen banyak belajar ini sudah ada di Jumeira Beach Hotel bersiap untuk merayakan festival film. *

Bahasa adalah Panglima

Uncategorized

 

Jumeira Beach Hotel, Dubai.

Kamar 2124

13 Desember 2010

 

Namaku Daniel Rudi Haryanto, filmmaker biasa-biasa saja dari Indonesia.

Festival film internasional pertama yang aku kenal adalah Jakarta International Film Festival. Aku adalah volunteer di festival tersebut (2001-2005). Sebagai volunteer traffic film, setiap kali aku menjemput can-can film dari berbagai Negara, aku meraba kaleng itu dan membatin suatu pernyataan, “Suatu saat nanti aku akan datang ke festival-festivalmu”.

***

dubai

Pembukaan Dubai Internasional Film Festival 2010 semalam meriah sekali. Walaupun acara sedikit molor dari jadwal, namun tak mengurangi kemegahan pertunjukan visual yang digelar di panggung sangat menakjubkan.

Di panggung terpajang layar yang lebar banget. Baru kali ini aku melihat layar sebesar itu, Raksasa! Lebih dari format sinemascope! Layar dapat tertutup dan terbuka secara otomatis. Pada acara sambutan dari panitia penyelenggara, layar ditembak dengan visual bermotif detail dan warna warni. Sulit menceritakan motif apa itu, setahuku menurut pelajaran Seni Rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) dulu itu motif dekoratif. Tapi kalau melongok tema Festival, sangat berkaitan dengan jembatan kultural dan open mind and meeting idea.

Di belakang gambar-gambar yang ditampilkan di permukaan layar raksasa itu terdapat para penari kontemporer yang energik. Warna kontras merah berpadu biru, ditimpa kuning, bersanding oranye, hijau, ungu kayak lagu balonku ada lima rupa-rupa warnanya. Ah…ngelantur saya. Hahaha…

Tapi di dalam perayaan pembukaan ini warna-warna yang dipertontonkan dari tata pencahayaan panggung terkesan sangat glamour. Sesekali aku menengok kepada para tamu yang duduk terpesona pada pertunjukan itu. Bias tata cahaya menyapa wajah wajah dengan mata binar itu.

Tadi malam acara red karpet, setiap tamu undangan berjalan di atas karpet merah, difoto-foto dan direkam video oleh kameraman-kameraman news dan entertainment. Hostnya cantik-cantik, parfumnya asyik-asyik walaupun aku nggak tahu parfum apa itu, aromanya yang menggairahkan. Maka aku bilang itu parfum asyik!

Begini ternyata ya, jika sebuah festival film internasional yang memakan biaya besar diselenggarakan, karpetnya aja merah dan tebal, sepatuku terasa tenggelam solnya…hahahhaa

Berjalan di atas karpet merah bareng penggiat perfilman dunia, sambil bersyukur kepada Gusti Allah di dalam hati aku mendendangkan lagunya Aerosmith “Crazy”

Say you’re leavin’ on a seven thirty train,
And that you’re headin’ out to Hollywood.
Girl, you been givin’ me that line so many times
It kinda gets like feelin’ bad looks good. Yeah.

dubai1

“King Speech” merupakan film pembuka, film yang luar biasa! Film yang disutradarai oleh Tom Hooper and penulis skenario David Seidler itu menyajikan acting, penyutradaraan, tata artistik dan editing sangat berperan dalam menentukan film ini sebagai film drama yang sangat bagus.

Setelah pemutaran film aku menghadiri pesta malam di pinggir pantai Madinat Jumeirah. Pesta yang sangat meriah, kembang api membakar langit Dubai malam, pendar cahayanya membuncah sebagai bunga api menyebarkan putik sari. Di mana-mana bir, di mana mana champagne, di mana mana alcohol, wine merah dan putih aku teguk, aku merayakan, aku minum semuanya. Ternyata enak juga minum wine di Uni Emirat Arab. Enak karena emang nggak pernah minum sebelumnya kecuali Bir Bintang! hahahha

Aku bertemu orang-orang yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Berpakaian pesta formal, jas dan ada juga yang menggunakan gamis dengan sorban-sorban. Mereka yang pakai sorban sebagian nggak minum alcohol, sebagian lainnya aku lihat ada yang minum wine.

Aku tidak kenal mereka, datang entah dari mana, di mana negerinya, di mana kotanya, apakah mereka filmmaker seperti aku? aku tak tahu. Tahu-tahu mereka berada di tempat ini merayakan pembukaan festival film.Yang Arab, yang Asia, yang Afrika, yang India, yang dari Eropa, yang dari Amerika, Australia, semuanya kumpul dan merayakan.

Kembang api berkali-kali dinyalakan, pecah membakar cakrawala, membiaskan cahaya di wajahku anak Indonesia dari kampung, lulusan sekolah film yang biasa-biasa saja kualitas pendidikannya ini, cahaya gemerlap nan glamour menyiram wajahku yang kebanyakan wine dan bikin nggeliyeng.

Kembang api di angkasa malam berdebum dan meledak-ledak di angkasa, sama halnya perasaan gundah gulana anak muda asal Karang Ayu, Semarang ini yang sedang patah. Para biduan dengan dandanan dendi naik ke panggung, lagu-lagu dinyanyikan, mengajak menari. Aku bersama Edmund Yeoh, filmmaker muda asal Malaysia yang sedang melanjutkan studi di Tokyo. Kami jalan-jalan keliling, saling motret-motret merekam momen indah pesta malam pembukaan.

Perempuan-perempuan menari bersama teman laki-lakinya, aku minum tiga gelas wine, empat gelas, lima gelas, bir aku tenggak, semua minuman yang tersedia aku rasakan. Ya, aku pikir apapun yang ada di festival ini mesti dirasakan. Termasuk segala hiburannya.

Aku nggak sadar kalau Garin Nugroho sutradara besar Indonesia itu juga ada di tempat itu. Saat aku jalan dia mencolek punggungku. Aku langsung mencoba sadar. Kamipun pulang bareng dan ngobrol sepanjang jalan. Asyik juga ya jalan bareng sutradara besar sambil ngrasani orang film Indonesia di Dubai.

“Film kami menang di FFD, Mas” aku memberitahu Garin.

“Iya saya udah dengar, selamat ya saya ikut senang” jawabnya.

“Ini festival pertamamu ya?” tanya Garin kepadaku.

“Iya mas, pertama kalinya dan langsung gede banget suasananya” jawabku.

Bhuahahahhahaaaaa…kami berdua tertawa ngakak sambil menyelusuri jalanan bercahaya temaram, di tepian pantai yang menghantarkan suara ombak menepi sayup-sayup. Seperti noar sinema…

Barangkali memang begini seharusnya hubungan guru dengan murid, seperti Garin dan aku. Di dalam proses belajar di Institut Kesenian Jakarta aku belajar dari pengalaman Garin Nugroho. Mulai dari film-film pendeknya hingga film-filmnya di era kontemporer sekarang.

Aku berterimakasih kepada kurator filmku, Philip Cheah dari Singapura. Di Festival ini aku banyak belajar untuk membawa diri juga membawa gelas wine, belajar berkomunikasi juga belajar interaksi, belajar mengekspresikan pandangan dan pendapat pada jejaring perfilman internasional, belajar mengidentifikasi aroma parfum dan kain jas yang dikenakan tamu-tamu yang tak kukenal.

Setiap hari aku harus menggunakan bahasa Inggris dan ini menyenangkan sekaligus gak mudah. Begitu pentingnya bahasa Inggris bagi kenyamanan berkomunikasi dengan lawan bicara. Aku juga bertemu dengan orang-orang yang bahasa inggrisnya belepotan tapi dengan percaya diri mencoba berkomunikasi.

“King Speech” memberikan pelajaran kepadaku bahwa mengkomunikasikan pandangan, ide dan pendapat ternyata membutuhkan bahasa dan cara bertutur yang tepat. Sekalipun ia adalah seorang pangeran atau raja, jika tidak dapat mengkomunikasikan dan berbahasa yang tepat, maka ia bukanlah siapa-siapa. Pelajaran kali ini adalah cara berkomunikasi dengan berbahasa, bahasa pada kenyataannya adalah panglima!

Kebanyakan minum semalam, aku kandas di tempat tidur. Rasanya malas bangun, tempat tidurnya terlalu nyaman. Bantal dan selimut serta kasur yang enak buat curhat sama diri sendiri, tersadar dan kayak nggak percaya kalok sampai di tempat ini. Menjadi tamu undangan film festival di Dubai.

dubai2

Aku disergap kemalasan, katalog festival tergeletak di meja kamarku, aku hanya memandangi. Aku enggan beranjak meninggalkan bantalku. Kepala ini sepertiditindis beban, merasakan kenikmatan fasilitas festival internasional. Di luar jendela kamar seharga $800 ini nampak pemandangan dermaga kapal-kapal untuk pesiar. Ini Dubai, bahasa Inggrisku terbata-bata. Tapi aku sudah basah terjebur di kancah festival ini, sendirian.

Tahu gak, berapa isi uang di dompetku? Hanya 200$, aku tukarkan uang tabunganku di Jakarta untuk uang saku berangkat ke festival. Barangkali aku adalah tamu termiskin di sepanjang perjalanan hotel milik emir-emir Arab ini hahhaa. Kehidupan selalu penuh kejutan.(drh)

 

 

 

 

Perjalanan Estetika Saya

Uncategorized

fullsizerender-4

Perjalanan Karya Dan Estetika Saya

Nama saya Daniel Rudi Haryanto

Sejak kecil saya gemar melukis. Melukis apa saja dan melukis di mana saya suka. Di Taman Kanak-kanak Bustanul Atfal IX Muhammadiyah di Semarang, saya sering ikut lomba gambar dan lomba melukis. Sampai hari ini saya tidak tahu beda menggambar dan melukis, saya hanya tahu kesamaannya, yaitu saya mencintai dua kegiatan itu. That’s all.

Di saat belajar di SD KIP Karang Ayu Semarang, guru saya, Pak Priambodo sangat mendukung bakat seni saya. Dia mengarahkan saya sebagi seorang murid penembang Mocopat. Saya pernah menjadi finalis lomba Mocopat se provinsi Jawa Tengah di masa Sekolah Dasar itu. Saya sering mengikuti perlombaan melukis, Ibu saya mengantarkan saya setiap kali saya berlomba.

Pada saat saya SMP (Sekolah Menengah Pertama) di SMP 30 Semarang, pelajaran yang paling saya suka adalah menggambar. Guru seni lukis kami namanya pak Tri, beliau sangat senang melihat tugas-tugas saya, nilai menggambar saya selalu bagus.

Buku Seni Rupa di masa SMP itu memperkenalkan saya kepada tokoh-tokoh seni rupa Indonesia. Saya mengenal Affandi, Soedjojono, Hendra Gunawan berikut organisasi yang mereka bikin pada masa revolusi kemerdekaan 1945. Catatan sejarah mereka begitu memukau saya.

Jika liburan tiba, saya pergi ke Jogja mengunjungi kakak saya. Semarang-Jogja ditempuh dalam waktu 3 jam dengan menggunakan bus antar kota. Saya senang mengunjungi Malioboro dan pameran seni rupa. Kakak saya seorang aktifis mahasiswa waktu itu, lingkaran pergaulannya turut membentuk peribadi saya dalam melihat, mengkaji dan memahami permasalahan sosial dan politik.

Mas Totok adalah mahasiswa Seni Rupa Taman Siswa, dia pandai membuat dekorasi, pada acara-acara seminar kebudayaan atau diskusi saya sering diajak mendekor. Saya sering lihat dia melukis sampai larut malam.

Dulu di Jogja ada Forum Intelektual Muda yang dibikin sama Lembaga Kebudayaan dan Lingkungan Hidup (LKLH) yang dikelola kakak saya.

Suatu kali di Perpustakaan Hatta di jalan Solo LKLH menyelenggarakan seminar kebudayaan, di situlah saya mengenal penyair Wiji Thukul.

Puisi-puisinya gampang saya pahami, bahasanya ringan tapi mudah menyadarkan manusia tertindas. Waktu itu saya masih SMP ya…hihihi

Di Jogja, saya mengenal teman kakak saya. Mereka melihat bakat saya melukis. Suatu hari Martono memberitahu saya tentang Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) yang ada di Jogja.

Saya tertarik dengan sekolah itu. Sejak saat itu saya ingin melanjutkan ke SMSR setelah saya lulus dari SMP. Cita-cita saya hanya satu, menjadi pelukis, seniman!

***

img_8444

Era Analog

SMSR mengajarkan banyak hal baru kepada saya. Pengalaman yang sangat menarik adalah mempelajari sketsa dan gambar bentuk. Pak Harto PR adalah guru sketsa yang selalu memberikan tugas. Setiap minggu kami harus menghabiskan 1 rim kertas HVS sejumlah 500 lembar.

Tugas membuat sketsa itu sangat membantu untuk meningkatkan kemampuan “menangkap” obyek yang ada di depan mata. Membuat sketsa sangat mempengaruhi proses seni rupa saya di masa berikutnya.

Saya sering keluar malam hari, nongkrong di Malioboro atau Pasar Bringharjo. Menunggu bongkaran sayuran dan membuat sketsa kejadian.

SMSR mengajarkan olah rasa, olah batin, olah ketrampilan tangan. Menghubungkan dan menyelaraskan batin, pikiran dan skill. Tinta, kuas, kertas menjadi media yang sangat murah untuk berkarya.

Di SMSR, kami diajarkan mengenal perkembangan seni rupa dunia melalui sejarah seni rupa. Di kelas 1 kami sudah mengenal Van Gogh, Picasso, Pit Mondrian, Matise, Paul Gauguin, Leonardo da Vinci dan tokoh seni rupa dunia lainnya. Sejarah mereka memotivasi saya untuk bermimpi menjadi seniman besar. Seniman yang tidak berhenti untuk berkarya sampai mati. Sejak SMP saya telah mengenal Raden Saleh, bagi saya Raden Saleh tidak kalah sama pelukis kelas dunia yang saya sebutkan di atas.

Motivasi dan mimpi itu membuat saya gelisah. Gelisah untuk menemukan bentuk dan gaya dalam berkarya. Lebar kertas dan kanvas ternyata tidak cukup luas untuk menampung gelisah saya.

Sebagai seorang yang sering membuat sketsa di lapangan, tentu saya sering berinteraksi dengan masyarakat. Mereka banyak bercerita tentang persoalan sosial dan politik.

Orde Baru di bawah rejim Soeharto sangat kuat, penguasa Negara menyelenggarakan pemerintahan dengan pendekatan otoriter. Di kanvas dan kertas saya menuangkan gelisah, di jalanan saya mewujudkan gelisah itu sebagai demonstrasi.

Era analog memberikan pilihan yang terbatas dalam bidang media berekspresi. Pada tahun 1998, setelah Rejim Soeharto jatuh, saya mendaftar kuliah di Institut Kesenian Jakarta.

Saya membaca sebuah catatan yang memuat tentang sebuah quote, itu diucapkan Lenin saat peresmian sebuah laboratorium film di Rusia pasca revolusi Bolsyevic. “ Di antara semua bentuk seni, film adalah yang utama”.

Saya tertarik dengan pernyataan itu, saya ingin membuktikan apakah perkataan Lenin itu benar? Pada saat itu saya sedang membutuhkan sebuah media yang  mampu menampung semua gelisah saya.

Sebelum meninggal tahun 1994, ayah saya bekerja sebagai karyawan pemasaran sebuah produk mie instan di Jawa Tengah. Ayah saya memasarkan mie instan dengan menggunakan armada mobil film layar tancap. Saya sering mengikuti ayah saya memutar film. Dari pengalaman itu ayah saya mengajarkan bagaimana sebuah film bekerja dengan sebuah produk mie instan dan berhubungan dengan konsumen yang adalah masyarakat yang membeli produk itu. Film, bisnis ternyata sangat terkait.

Era Digital

Tahun 1998, saya masuk kuliah sebagai mahasiswa film di Institut Kesenian Jakarta.

img_8448

Di sekolah film, saya menemukan tantangan yang berat. Saya tidak mengenal teknologi selain kuas, cat, kanvas, kertas, pastel, pencil, dan tinta. Di film saya mulai mengenal kamera, seluloid, lensa, proyektor film, proses kimia laboratorium film, teori cahaya dan sejarah sinema dunia.

Saya sering salah ketika menjawab soal tentang teori warna cahaya. Di SMSR sebelumnya saya telah hapal dan mengalami sendiri pewarnaan. Tetapi di film, ternyata berbeda. Sederhana saja, kesalahan itu menyangkut soal teori warna pigmen dan teori warna cahaya yang ternyata berbeda. Saya mulai memahami perbedaan itu.

Di Seni Rupa saya menggunakan kuas, cat dan dan kanvas atau kertas, di film saya menggunakan kamera, lensa dan seluloid. Dua dunia yang berbeda. Sungguh tantangan yang tidak mudah untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan di dalam kesadaran saya.

Krisis sedang melanda Indonesia, perekonomian bangkrut. Mahasiswa film menghadapi kesulitan dalam prosesing film seluloid. Kahanan yang mendesak itu membawa kami untuk mulai mengenal media video.

Di tahun 1998- 2000, kami mulai menggunakan video untuk praktek. Editing menggunakan komputer. Saya mengalami kesulitan karena saya tidak pernah belajar komputer untuk keperluan semacam itu.

Teknologi yang saya pelajari adalah teknologi komputer untuk menulis dengan banyak perintah control yang harus dihafal, itupun sudah lama terjadi dan lupa semua kontrol. Ini komputer editing, adobe premiere yang bagi saya seperti mimpi buruk, waktu itu. Saya pernah belajar ngedit, lupa di save dan listrik mati, saya panik sampai mencret!

Dari pengalaman belajar itu saya semakin menyadari, teknologi sangat cepat berkembang. Saya mendengar dan mulai sering mendiskusikan sebuah kata: Digital!

Adik-adik kelas saya sering membicarakan animasi dengan software maya. Kawan-kawan di seni rupa sering mendiskusikan pembuatan grafis dengan menggunakan corel draw. Sementara saya hanya mengenal “drawing” menggambar dengan tangan. Bukan dengan komputer. Bahkan bikin poster filmpun saya masih pakai cat poster dan karton. Mengejar pengetahuan dan ilmu teknologi sering membuat kepala saya  “retak” waktu itu, saya belajar banyak dari pergaulan dengan kawan-kawan yang menguasai teknologi.

fullsizerender01

Film digital

Saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika berhasil membuat film. Walaupun hanya merekam, kemudian memproses seluloid, atau mengeditnya ke dalam komputer editing dan kemudian saya sadar telah memiliki sebuah film!

Eksperimen-eksperimen kemudian saya lakukan. Ternyata sangat menyenangkan! Film membawa saya pada perjalanan besar, di antara teknologi, estetika dan ilmu pengetahuan.

Teknologi digital membawa dampak yang luar biasa di bidang visual dan audio. Saya tidak dapat menolaknya. Yang terpenting dari pengalaman itu adalah, saya dapat merasakan pengalaman yang dahsyat untuk mewujudkan kegelisahan saya ke dalam sebuah karya yang lengkap, visual dan audio!

img_7293

Digital

Saya lulus dari Fakultas Film dan Televisi pada tahun 2005. Teknologi informasi dan teknologi komunikasi sudah semakin canggih. Saya waktu itu menggunakan sebuah seluler merk Ericson. Komunikasi dapat dilakukan dengan sangat mudah dari jarak jauh dengan sms dan telepon.

Di film teknologi tata suara dan kamera semakin berkualitas. Saya merasakan perkembangan teknologi terjadi sangat cepat.

Warung internet telah menjamur waktu itu. Pertumbuhan dan perkembangan internet mulai mewarnai ke dalam budaya masyarakat. Game online dan Sosial media mulai hadir menjadi kebudayaan baru.

Pada saat saya masih kuliah, Warung Internet menjadi kebutuhan. Masyarakat merayakan teknologi informasi melalui email dan situs digital. Google mulai menjadi kebutuhan pokok untuk mengakses informasi. Kotak pos mulai ditinggalkan, orang mulai berganti dengan sms, email atau surat elektronik. Kios-kios cuci cetak foto analog mulai bangkrut berganti cetak digital. Dunia menuju kepada runtuhnya tembok-tembok kebekuan.

Dulu, ayah saya pernah membelikan sebuah radio yang terkemas dengan tape recorder. Saya bisa menggunakan tape untuk merekam radio, merekam lagu-lagu favorit. Biasanya lagu-lagu Slank dan Iwan Fals. Saya pernah memiliki jam tangan yang ada kompasnya, atau radio yang terkemas dwnhan jam weaker. Tetapi hari ini radio, tape, alat perekam suara, kamera, dan semua perangkat hiburan ada di sebuah kotak kecil bernama gadget.

Saya menggunakan iphone 5. Gadget ini disebut telepon cerdas. Semua kebutuhan informasi pandang dengar dapat di akses dengan smart phone tersebut.

Saya menyadari di awal tahun 2017 ini, dunia sudah tidak tersekat jarak dan ruang. Mau cari info apa saja ada di google. Referensi sejarah seni rupa, film, musik, dan bentuk kesenian apapun ada di google.

Bisa saja dunia hari ini tidak lagi membutuhkan dinding untuk memajang lukisan. Tidak terlalu membutuhkan bioskop untuk menonton film, tidak perlu panggung untuk menyelenggarakan pertunjukan.

Dengan teknologi digital manusia semakin sibuk dengan gadget. Arus informasi dan komunikasi semakin deras. Tontonan berdurasi panjang tergantikan dengan tayangan pendek yang cukup membuat tertawa.

Berbagai paradigma lumer. Saya semakin gelisah. Seni Rupa yang saya geluti, film yang saya tekuni, pencarian dan pengalaman-pengalaman estetika bergulat dengan situasi dan keadaan. Kahanan manusia tidak lagi seperti dulu. Saya merasakan kini, dengan gadget manusia tampak kehilangan ruang kontemplasi. Dengan gadget ruang sosial malah berjarak. Semua berubah cepat, teknologi merasuki ruang-ruang private. Dari gadget orang mampu membongkar rahasia-rahasia. Dialektika terjadi secara acak tak ada waktu merenung, barangkali inilah apocalypse? Chaos?

Sejak tahun 2010, saya mulai melakukan perjalanan ke berbagai film festival di berbagai negara. Suatu pengalaman yang menarik. Saya menyaksikan perubahan dan perkembangan dunia dari dekat.

Saya berada pada lintasan kebudayaan, lintasan ruang dan waktu serta diskursus yang asing bagi saya. Atas kenyataan itu, saya mendapatkan banyak inspirasi dan saya menterjemahkannya ke dalam karya-karya saya.

Perjalanan estetika saya sampai di kekinian. Saya tidak tahu sampai di mana perjalanan estetika saya akan tiba pada destinasinya. Saya menjalani dialektika atas perubahan dan kejadian-kejadian di sekitar saya ini.

fullsizerenderr

Merespon dengan karya, merespon dengan gambar yang saya ciptakan dari hasil renungan saya yang singkat, kemudian saya berbagi, saya tidak berani menyebutnya sebagai kegiatan exibisi karya, saya merasa ada tuntutan untuk berbagi kepada publik, kepada dunia maya yang penduduknya tidak saya kenal namun sering memberikan suka dan jempol maupun komentar mereka.

Saya memahami, hari ini dunia sedang lumer, seperti es krim cokelat di bawah terik matahari. Saya merekamnya, saya melukisnya, saya menyaksikannya.

Mama Amamapare

Uncategorized

Film Dokumenter dan Pembangunan di PapuaDitulis oleh: Daniel Rudi Haryanto

Bagaimana rasanya berada di tengah suasana persalinan yang remang, minim cahaya di suasana 71 tahun Indonesia Merdeka? Apa yang terpikirkan ketika menyaksikan sebuah pulau yang dihuni suku Kamoro tidak memiliki akses listrik, sehingga suasana gelap gulita, sementara di seberang terang benderang, mesin industri tak pernah berhenti bergemuruh mengolah emas? Tidak ada tenaga medis yang hadir berjadwal, rumah sakit jauh, apa yang terpikirkan dari suasana semacam ini?

Pulau Karaka berdampingan dengan pelabuhan PT. Freeport Indonesia, tempat kapal bersandar menjemput emas yang dikapalkan menuju Amerika. Wilayah ini berada dalam wilayah adat Suku Kamoro yang menyebar di pesisir selatan Papua. Sebagian penduduk Pulau Karaka bekerja sebagai buruh atau petugas sekuriti PT. Freeport Indonesia. Sebagian yang lain menggantungkan hidup dari hasil laut yang sangat berlimpah di Amamapare berupa ikan, udang, dan Kepiting yang dalam bahasa Kamoro disebut Karaka, demikianlah nama Pulau Karaka berasal.

Rumah penduduk dibangun di atas tiang kayu besi dan kayu Mangi-mangi (Bakau). Penduduk memanfaatkan sampah dari PT. Freeport berupa triplek, terpal, plastik, besi bekas untuk atap dan dinding rumah.

Penduduk Pulau Karaka adalah pekerja keras, mereka bangun di pagi hari, pergi ke sungai, laut, atau hutan mangi-mangi (Bakau) untuk menangkap Ikan, udang, dan Karaka. Di sore hari mereka pulang ke rumah, menjual ke pengepul dan membelanjakan uang untuk membeli beras, gula, garam, sagu, telur, sabun, atau kebutuhan pokok yang lain.

Di Pulau Karaka terdapat sebuah Puskesmas Pembantu yang didirikan pemerintah pada tahun 2014. Namun keberadaan Pustu tersebut belum dirasakan manfaatnya secara maksimal oleh masyarakat dikarenakan kelangkaan tenaga medis.

Di awal berdirinya, Pustu membuka Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) untuk Ibu hamil dan Balita (Bayi di bawah usia lima tahun). Selain pendataan, Posyandu menyelenggarakan penyuluhan kemitraan dengan dukun-dukun bayi di Pulau Karaka. Diantara dukun-dukun bayi itu terdapat Mama Yakoba dan Mama Maria. Keduanya merupakan kader bidan.

Tenaga medis tidak tinggal di Pustu. Masyarakat tidak pernah mengenal kepala Pustu. Tidak ada penjadwalan pelayanan kesehatan, Bidan dan Suster pada awalnya datang dua kali dalam satu bulan, kini tidak dapat diharapkan kedatangannya.

Kepala kampung Amamapare berupaya melakukan koordinasi untuk mengundang tenaga medis menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi warganya, namun jarak, sarana transportasi, biaya, air bersih, dan logistik menjadi kendala bagi tenaga medis untuk hadir di Pulau Karaka.

Di Pulau Karaka belum ada fasilitas air bersih. Penduduk mendapatkan air bersih secara cuma-cuma dari dock port milik PT. Freeport Indonesia. Untuk mendapatkan air bersih mereka harus menyeberangi sungai sejauh lima ratus meter dengan menggunakan sampan. Di musim penghujan, mereka menampung air ke dalam jerigen-jerigen atau ember plastik.

Sebuah klinik kesehatan untuk karyawan terdapat di kawasan pelabuhan PT. Freeport Indonesia. Walaupun klinik tersebut membuka pelayanan kesehatan untuk masyarakat Pulau Karaka, namun dengan berbagai alasan masyarakat merasa segan datang berobat.

Pulau Karaka dihuni sekitar 1.094 jiwa dengan 350 kepala keluarga. Setiap rumah belum memiliki fasilitas mandi, cuci, kakus yang memenuhi standart kesehatan. MCK berupa bedeng seukuran dua meter persegi dengan pembuangan langsung ke tanah. Kotoran larut bersama air laut yang pasang menggenangi Pulau Karaka. Anak-anak bermain di air yang mengandung sampah rumah tangga. Kenyataan ini memicu potensi penyakit kulit, pernafasan, dan pencernaan menjangkiti penduduk Pulau Karaka.

 

Film Dokumenter dan Indikator Pembangunan

Eagle Awards Documentary Competition (EADC) 2016 mengusung tema Indonesia Sehat. Tema tersebut merupakan sebuah upaya dalam melihat dan menafsir dinamika serta kompleksitas persoalan kesehatan di Indonesia, guna terlahirnya sebuah film dokumenter yang inspiratif, menggugah emosi dan mengubah prespektif.

Satu di antara lima proposal yang lolos berasal dari Timika, Papua yang membawa cerita tentang Mama-mama di Pulau Karaka, Amamapare yang membantu persalinan secara tradisional di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan modern.

Dua filmmaker muda dari Timika Yonri Revolt dan Fabian Kakisina, peserta EADC 2016 hadir di Pulau Karaka pada pertengahan Agustus 2016. Mereka melakukan observasi untuk pembuatan film dokumenter berjudul Mama Amamapare.

Selama 10 Hari di Pulau Karaka, filmmaker melakukan observasi dan proses pembuatan film. Film ini hendak menceritakan bagaimana Mama Yakoba sebagai dukun bayi tradisional membantu persalinan Mama Ance dan Mama Marsela di tengah minimnya fasilitas kesehatan di Pulau Karaka.

Kenyataan yang terdapat dalam keseharian masyarakat di Pulau Karaka terekam dalam kamera Yonri dan Fabian. Pada perayaan peringatan 71 tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, filmmaker merekam pidato gubernur Papua yang menguraikan keberhasilan pemerintah daerah dalam implementasi anggaran belanja daerah untuk pembangunan di Papua. Satu di antara pembangunan tersebut adalah fasilitas kesehatan berikut pelayanan kesehatan di seluruh Papua.

Mendengar pidato Gubernur Papua dan merekam kenyataan yang terjadi di Pulau Karaka yang berdampingan dengan PT. Freeport Indonesia merupakan dua hal yang berbeda sangat kontras. Data statistik keberhasilan pembangunan di atas kertas tidak sesuai dengan kenyataan yang terekam di dalam media audio visual.

EADC membuka kemungkinan adanya jembatan komunikasi dan jendela informasi bagi para penentu kebijakan, pemangku dan pelaksana kebijakan di tingkat pemerintahan dengan masyarakat yang merasakan dampak kebijakan negara.

Dua filmmaker muda dari Timika peserta EADC 2016 tinggal bersama masyarakat, dan merasakan apa yang dirasakan masyarakat Pulau Karaka. Mereka merekam realitas yang utuh sehingga apa yang dirasakan oleh masyarakat adalah apa yang disampaikan di dalam film dokumenter.

Dalam hal ini, hasil observasi dan partisipasi filmmaker dan film dokumenternya memungkinkan menjadi media yang mampu mendistribusikan pengetahuan dari wilayah paling bawah dari pelaksanaan kebijakan kepada wilayah paling atas dari para perumus kebijakan, pemangku dan pelaksana kebijakan untuk mengevaluasi keberhasilan pembangunan.

Film dokumenter mampu memaparkan dan menggambarkan seberapa jauh dampak pelaksana kebijakan pembangunan di masyarakat, sehingga film dokumenter menjadi data yang penting dalam membaca indikator pembangunan untuk mengkritisi pelaksanaan pembangunan di lapangan.

Dua belas tahun penyelenggaraan Eagle Awards telah menghasilkan film dokumenter berkualitas dari berbagai wilayah di Indonesia. Film dokumenter yang dihasilkan tidak saja tayangan yang menghibur, namun mampu membuka cakrawala pengetahuan bagi penontonnya dalam upaya membaca dan menafsir keindonesiaan dan memahami keragaman Indonesia dari perspektif audio visual yang terinspirasi dari realitas.

Papua memiliki kekayaan sumber daya manusia, budaya, dan alam yang luar biasa. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya kebudayaan menjadi tantangan yang tidak mudah. Otonomi daerah yang dilaksanakan sebagai upaya pemerataan dan percepatan pembangunan di wiayah-wilayah yang sulit terjangkau, tidak hanya membutuhkan laporan data statistik di atas kertas belaka. Film dokumenter membawa suara masyarakat, menjadi media yang tepat untuk mengawal pembangunan.

Jakarta, Agustus 2016

Daniel Rudi Haryanto

Alumnus American Film Showcase (AFS) 2016

University of Southern California (USC)

Peraih Director Guild of Japan Award, Yamagata International Documentary Film Festival 2011,

Peraih Special Jury Mention Cinemasia Amsterdam 2014,

Melakukan lawatan ke beberapa festival di; Dubai, Jepang, Korea Selatan, Roma, Montreal, Australia, Singapore, Vibgyor, Belanda, Prancis, Los Angeles,  dll

Mentor dan supervisor tim Papua, EADC 2016.