Ketika Cinta Bertasbih (Behind the Scene)

Uncategorized

Di lima kota aku singgah

Surabaya, Padang, Pontianak, Makassar dan Jakarta untuk mengikuti perhelatan audisi film “Ketika Cinta Bertasbih”. Ada cerita demi cerita yang aku kumpulkan dari perjalanan ini.

Aku bertemu dengan banyak pemuda dan pemudi yang rindu jadi bintang film. Ada cerita tentang Fauzi dari Surabaya. Ia seorang pemuda yang menempuh perjalanan panjang ke berbagai kota audisi; Surabaya, Jogjakarta, Semarang hingga Jakarta, demi untuk dapat mengikuti audisi. Dia rela meninggalkan pekerjaannya untuk mengejar mimpinya menjadi Bintang Film.

Fauzi mengaku bekerja sebagai juru masak di sebuah restoran di Surabaya. Terakhir ketemu Fauzi di Jakarta. Saat itu dia menyapaku dan memperkenalkan dirinya yang mengaku pernah bertemu di audisi Surabaya. Fauzi pemuda yang sederhana. Keinginannya cuma satu, ikut main di film Ketika Cinta Bertasbih.

Tetapi impiannya kandas. Audusi di berbagai kota yng dia datangi tak tembus juga si Fauzi ini. Hingga musibah memaksanya untuk bertahan di Jakarta untuk beberapa hari.

Musibah pertama dia kehilangan uang ketika tidur di masjid samping GOR Ragunan, kedua adalah ketika dia hendak pulang ke Surabaya dari stasiun senen. Belum sampai di stasiun dompetnya kecopetan. Dompetnya dicopet orang jahat di stasiun Dukuh Atas.

Kemudian dia kembali ke GOR Ragunan. Ia mengaku dua hari tak makan, mau ngutang malah dimarahi pemilik warung. ” ngutang? Gak bisa ngutang! ini jakarta!” begitu Fauzi menceritakan tentang pemilik warung yang menghardiknya.

Hari itu aku tergerak meneleponnya, ternyata dia sudah dua hari di masjid samping Gor Ragunan, belum makan katanya, cerita di atas berdasarkan cerita yang disampaikan Fauzi kepadaku.

Tragis dan begitulah Jakarta. Lalu ada pula yang kukenal, seorang peserta audisi yang gagal, pemuda asal Padang bernama Fandi, dia aku telepon untuk menjemput musafir bernama Fauzi itu. Fandi ini baik sekali, dia rela menjemput Fauzi dan dibawanya ke rumah singah tempat masyarakat terlantar yang terdapat di bilangan Matraman.

Aku baru bisa menemui mereka tengah malam seusai aku kelar shooting. Kami usahakan bantuan supaya Fauzi bisa pulang ke Surabaya dengan menumpang kereta api.

Ini cerita yang tragis, gegap gempita audisi film Ketika Cinta Bertasbih menyisakan kesedihan seorang dua orang anak muda yang gagal. Ada pula cerita tentang Sadad, Iema atau Ivda. mereka mengalami nasib yang sama. Gagal meraih impian untuk lolos audisi dan berharap besar untuk bisa menjadi Azam atau Husna.

Fauzi adalah satu diantara mereka yang gagal. Kegagalan yang seharusnya dari awal sudah diantisipasi, tetapi dia mengalami kegagalan terus menerus.

Film pada kenyataannya tidak seperti kesederhanaan yang ada dalam imajinasi mereka. Sebagai peserta audisi semestinya mereka mengukur kemampuan serta persyaratan yang semestinya berlaku. Kalaupun gagal, semestinya menjadi bagian dari pelajaran yang berharga. Toh hidup bukan sesuatu yang merugi apabila mereka menunda berkompetisi untuk konsen melatih diri. Atau memilih ruang tang masih ada bidang lain tempat berprestasi.

Aku singgah di lima kota, mendapati kesedihan dan kegembiraan. Ada yang sedih lantaran tidak sukses masuk semi final audisi, ada yang gembira karena sukses masuk ke babak berikutnya. Tetapi ada yang membuatku lebih sedih, hampir semua peserta yang masuk dalam tahap ke dua audisi ternyata banyak yang tidak bisa melafalkan ayat suci Al quran. Ketika mereka ingin menjadi tokoh Husna, mereka diminta untuk melafalkan satu ayat alquran, atau mempresentasikan sesuatu dengan bahasa arab atau inggris, mereka kebanyakan gagap dalam hal itu.

Sebagian besar hanya mampu membaca Al Fatiah saja. Apakah ini realitas yang menarik dipelajari? Ada apa dengan generasi muda? Sejauh mana kesadaran keagamaan mereka di era modernitas yang absurd sekarang ini? Aku hanya menggugat satu kenyataan, ketika banyak orang mengmbar gemborkan Indonesia sebagai negara muslim terbesar, Indonesia sebagai negara dengan jemaah haji terbesar, pada kenyataannya itu tidak aku temui di lima kota yang aku singgahi.

Seperti di kota yang disebut-sebut sebagai pelaksana kebijakan daerah dengan syariat islam, pada kenyataannya banyak hanyalah claim dan propaganda belaka.

Aku singgah di lima kota, tulisan ini adalah kesaksian bahwa dari proses ini aku belajar dan menemukan fakta-fakta baru. Indonesia tiak seperti yang orang seringkali pikirkan. Banyak kejutan-kejutan dan itu ralitas yang dapat dijadikan pelajaran berharga. Jadilah diri sendiri.