AKTIVIS CENGENG DAN MANJA

Uncategorized

Jati Baru, Tanah Abang-Jakarta,

9 Oktober 1997.

Ilustrasi: DRH

Sekretariat Forum Interaksi 66 berada di sebelah Hotel Jati Tanah Abang. Hotel ini merupakan tempat check in bagi pasangan-pasangan yang ingin memenuhi hajat mereka secara singkat, istilahnya di sini short time. Di ruangan yang tak cukup luas ini ada meja panjang dan bangku panjang serta bangku-bangku plastik. Ada mesin ketik elektronik yang berada di meja paling ujung.

Bang Totok, bang Andi Saari, bang Eben, bang Nikmat, bang Ubus, bang Mawi, bang Wangge, adalah senior-senior dari kesatuan KAMMI-KAPPI di masa pergerakan 66 yang kemudian membentuk Forum Interaksi 66.

Banyak cerita yang aku dengar dari mereka tentang masa-masa pergolakan itu. Kisah laskar-laskar mahasiswa yang membentuk yon-yon (Mungkin maksudnya batalyon) dengan nama para pahlawan revolusi.

***

Ilustrasi:DRH

Hari ini aku merasa lega, karena para pembicara yang aku hubungi melalui surat sudah menyatakan bersedia hadir dan menyampaikan makalah mereka termasuk Kol. CIN. Lukman Saksono dari staff ahli KASAD juga menyatakan bersedia hadir. Akan tetapi hari ini aku juga sedikit kawatir karena gesekan yang terjadi di antara abang-abang di Forintek 66.

Perpecahan yang terjadi di tubuh organisasi Forintek 66 nampaknya semakin tajam. Bang Andi Saari bahkan tak mau bertegur sapa dengan bang Totok. Situasi ini agak menjengkelkan karena menjelang seminar 25 Oktober nanti dibutuhkan persiapan yang matang. Jika ada persoalan yang terjadi di internal Forintek 66, kenapa tidak diselesaikan secara musyawarah saja?

Perpecahan semacam itu menurutku tidak baik bagi jalannya organisasi dan program kerja. Mungkin permasalahannya adalah karena ego dari masing-masing person. Bang Totok beberapa hari ini mempertahankan Rudini dan Prof. DR. Alwi Dahlan sebagai pembicara, sementara Bang Andi Saari memiliki pendapat yang berbeda.

Bang Totok memang sosok yang keras, setiap kali berpendapat ia selalu berusaha untuk dijalankan atau dipenuhi oleh organisasi. Ya, demikianlah organisasi ini. Bagaimanapun itu menjadi pelajaran bagiku yang masih belia ini.

***

Kemarin aku dan HRTN bertemu dengan mas S di sekretariat PIPHAM. Selain menyampaikan undangan seminar, kami juga berbincang cukup lama. Ternyata mas S sedang mempersiapkan pernikahannya dengan perempuan asal Garut.

Dari perbincangan dengan mas S, aku menarik kesimpulan sebagai berikut. Aktivis sekarang banyak yang cengeng dan dimanjakan situasi. Keadaan ini menjadikan banyak aktivis kesulitan menyesuaikan diri untuk menjawab tuntutan keadaan. Walaupun demikian, PIPHAM tetap menjaga militansi.

Apa yang disampaikan oleh mas S itu menjadi semacam catatan bagiku. Seorang aktivis tidak hanya dituntut militansinya, akan tetapi juga profesionalitas. Idealisme pergerakan tidak hanya militansi belaka, akan tetapi juga harus dapat menjawab tuntutan logis dalam memenuhi tantangan kebutuhan hidup. Setiap aktivis dituntut memiliki profesionalitas di bidangnya untuk dapat menghidupi semangat idealisme pergerakan.

***

Sesmenin Sesbaleskasjut?

Uncategorized

Jati Baru, Tanah Abang-Jakarta, 6 Oktober 1997

Hari ini di Gilbert-Winda Komputer Matraman aku menyelesaikan beberapa surat undangan. Rencanaku besok akan kauantarkan surat itu kepada Prof. Usep Ranuwidjaja dan Prof. Dr. Alwi Dahlan sekaligus menyerahkan proposal seminar ke beberapa pihak.

Di Kopaja 502 tadi ketemu kawan Wira dari PIPHAM, terlihat bergaya revolusioner dengan bintang merah di dada kirinya. Tadi dari Matraman pengen langsung ke KM di Bendungan Jago Kemayoran untuk menemui MMT berkaitan dengan undangan untuk Prof. Usep. Akan tetapi aku ndak jadi ke KM, karena MMT ndak ada di sekretariat, dan bang BRR pun juga tidak ada di tempat, akhirnya aku balik ke sini melanjutkan kerjaan mempersiapkan acara 25 Oktober yang sudah semakin dekat.

Hari ini mas HRD datang ke Jati dan menanyakan dimana mas E, kami kemudian ke kos mas E dan berpapasan dengan mas E di jembatan layang Jati Baru. Kami kemudian ke Kedoya (Media Indonesia) untuk mengambil honor artikel. Sesampai di kantor Media Indonesia ternyata bagian keuangan tidak berada di tempat,

“ Besok silahkan datang lagi.” kata petugas yang kami temui, dan kamipun terpaksa balik lagi ke hotel Jati.

***

Menjelang penyelenggaraan acara seminar 25 Oktober ini, suasana sekretariat Forintek 66 terasa kurang nyaman dikarenakan terjadinya perpecahan antara bang AS dan bang TT. Aku tak tahu darimana asal muasal perpecahan itu.

Aku tergolong baru memasuki dunia pergerakan, namun di dunia pergerakan ini aku mulai merasakan dinamikanya, ada dinamika diskusi, ada dinamika berjejaring, ada dinamika pemikiran, dinamika idealisme dan lain sebagainya yang aku bisa lihat dari para senior.

Akan tetapi di luar itu, aku juga melihat adanya potensi konflik, intrik, yang menjadikan suatu hubungan tidak langgeng. Aku kira benar adanya Mao Tse Tung pernah berkata,

“ Tidak ada kawan yang abadi, kecuali kepentingan.”

Kalimat itu singkat tetapi mewakili situasi yang aku lihat dan rasakan di dunia baruku ini, dunia pergerakan. Dunia pergerakan bisa saja tenang di permukaan akan tetapi bisa tiba-tiba beriak atau muncul gelombang. Dunia pergerakan bisa tidak terlihat atau berwujud, akan tetapi bisa dirasakan dampaknya. Ya, dunia pergerakan penuh dengan misteri.

Kelak, pengalaman di dunia pergerakan ini akan menjadi bumbu penyedap kehidupan dan sejarah umat manusia, sebagai elemen kecil yang pernah ada di dalam kehidupan sebuah bangsa, atau kalaupun itu mungkin terlalu besar, aling tidak menjadi bagian dari perjalanan hidupku sebagai bagian dari umat manusia.

Situasi krisis yang tengah dirasakan saat ini membuatku sering merenung tentang dunia pergerakan ini. Aku tadi sempat ngobrol sama mas E, dan menanyakan apakah teman-temannya seperti S (PIPHAM), AL, JYD, MNF, BRR, dll, sebagai aktivis mereka juga memperhatikan keluarga mereka, orang tua mereka? Bukankah dunia pergerakan tidak menjanjikan penghasilan bagi para aktivisnya? Bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga mereka?

Aku bertanya seperti itu karena melihat keasyikan yang dialami oleh para senior itu. Keasyikan yang agak supit diceritakan. Forintek 66 ini diisi oleh angkatan 66 yang menumbangkan Orde Lama Soekarno.

Puluhan tahun setelah peristiwa seputar 1966 itu aku melihat satu sisi kehidupan para senior aktivis ini. Berkumpul setiap malam, main ceki, atau sekedar bersendau gurau mengenang masa lalu.

Lantas aku berpikir, apakah di dalam keasyikan menjalani pilihan sebagai aktivis yang tidak memiliki penghasilan tetap itu mereka juga memikirkan dan berbuat sesuatu untuk keluarga?

Pertanyaan itu juga ditujukan untuk diriku sendiri, ketika memasuki dunia pergerakan seperti ini, bagaimana aku bisa memikirkan sesuatu yang umum dan luas, memperjuangkan orang lain, akan tetapi sekaligus bertanya apakah aku juga sudah memperjuangkan keluargaku?

Malam semakin larut merambati Jati Baru, bang Jamal dan Bang Cecep (Dua sahabat ini satunya penjaga parkir, satunya pelayan hotel.) sedang terjaga di teras. Sesekali mereka meneriaki teman atau kenalan mereka yang melewati Jembatan Serong.

“Woi, sesmenin sisbaleskasjut nih?”

Terdengar teman mereka membalas dengan kalimat yang sekenanya sambil berlalu.

“Iye-iye udah nih, ayok jalan dulu ye?”

Kalau sudah begitu, terdengar tertawa kelakar mereka berdua memecah suasana malam teras Hotel Jati. Sementara jika pergantian sift tiba, bang Tayan dari arah lampu merah Jati Baru berteriak, “Ahaaaaaaaiiiii Rolling Stone!”

Indonesiaku

Uncategorized

Jakarta, 2 Oktober 1997

Indonesiasku

Malam merambati Jati Baru, Tanah Abang. Angkutan kota menurunkan penumpang berwajah siluet di lampu merah. Penjaja velg mobil masih terjaga di depan gerai mereka. Rahmat sibuk melayani pembeli indomie rebus pakai telur dan es teh. Hotel Jati masih sepi, tamu hotel belum banyak berdatangan.

***

Ilustrasi: DRH

Di antara jemuran sprei dan kurung bantal guling yang berpulau yang dijemur di ruang atas Hotel Jati ini aku menulis tentang keprihatinan yang melanda negeri ini, ancaman stabilitas nasional, krisis ekonomi, politik, gejolak sosial yang menyeruak bagaikan lumut-lumut yang siap mengeroposkan tembok beton Orde Baru.

Pengangguran merajalela, rakyat semakin susah mendapatkan pekerjaan dan mencari uang, hidup di bawah garis kemiskinan, jauh dari kesejahteraan yang digembar gemborkan pemerintah melalui propaganda-propaganda semu.

Musim kemarau berkepanjangan, hutan terbakar, sungai, danau mengering dan menyusut, bencana terlihat di depan mata. Rupiah semakin hari semakin melemah, tinggal berapa bulan lagi natal dan lebaran tiba, kebutuhan rakyat semakin mendesak dipenuhi, sementara  rakyat kecil bagaikan pengemis di pinggir jalan yang mengais remah remah kue pembangunan.

Pagi tadi di Matraman, tempat Gilbert-Wilda Komputer, ketika aku sedang membuat surat undangan untuk seminar tanggal 25 Oktober, aku membaca tajuk rencana KOMPAS hari ini yang mengemukakan tentang kenaikan harga beras, dan sembako lainnya.

Tingginya nilai dollar menjadi pemicu krisis dalam negeri, daya beli rakyat melemah. Sementara dalam situasi seperti ini tiada lain yang diuntungkan adalah mereka yang dekat dengan penguasa dan memainkan peranan ekonomi dan politik. Dalam situasi seperti saat ini macan politik, dalang politik, setan politik, terdengar mulai mengaum dan berbisik-bisik, memasang kuda-kuda untuk bersiap start meraup keuntungan sebesar-besar nafsu angkara murka mereka.

Aku adalah anak bangsa yang suka mengamati fenomena yang terjadi pada bangsa dan negeriku, Oktober ini rakyat berbisik-bisik dalam kesusahan mereka, stress dan beban hidup semakin menumpuk. Pemerintah Orde Baru selalu menggaungkan slogan-slogan kesejahteraan yang pada kenyataannya jauh panggang dari api.

Ilustrasi: DRH

Rakyat rindu hidup layak seperti yang dicita-citakan konstitusi undang-undang dasar 1945 dan Pancasila sebagai landasan idiil republik ini. Akan tetapi kerinduan rakyat yang terbesar saat ini adalah segera keluar dari situasi sulit ini, rakyat rindu perubahan, dan tanda-tanda perubahan itu semakin nyata. Soerharto dan Orde Baru semakin rapuh dikarenakan perilaku kekuasaan mereka sendiri. Rakyat sudah semakin jenuh.

Namun, di antara gejolak yang bagaikan api dalam sekam itu, suasana Hotel Jati Tanah Abang ini tidak pernah berubah setiap malam. Perempuan-perempuan Monas itu tetap hadir dan pergi bersama pelanggan yang berganti-ganti, abang-abang angkatan 66 rutin main ceki di malam hari. Lampu merah di perempatan Jati Baru menjadi saksi keresahan rakyat, anak-anak STM sesekali bentrok, kehidupan metropolitan terus berjalan seperti apa adanya.

Jakarta, Oktober 1997

Uncategorized
Ilustrasi: DRH

Jakarta, 1 Oktober 1997

Akhir September selalu diwarnai drama politik. Peristiwa 30 September 1965  di dalam buku besar sejarah nasional Indonesia tercatat sebagai peristiwa  besar pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mencoba melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Bung Karno presiden mandataris MPR, akan tetapi pemberontakan itu berakhir karena digagalkan oleh Angkatan Darat (ABRI) di bawah komando Soeharto.

Dan hari ini sejak awal Orde Baru, 1 Oktober ini disematkan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai hari Kesaktian Pancasila. Apa benar demikian saktinya Pancasila? Aku sih punya pandangan tersendiri. Bagiku hari ini bukanlah kesaktian Pancasila menurut pandangan Orde Baru itu, melainkan hari kemenangan Soeharto berikut pemujaan kemenangannya dalam kancah pertarungan politik melawan PKI tahun 1965 itu.

Ah… Jika membaca sejarah 65, aku seperti memasuki ruang remang-remang, seolah ada tabir yang menutupinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada waktu itu karena aku belum dilahirkan ke dunia ini. Akan tetapi aku dapat merasakan dampak peristiwa 65 terhadap situasi dan kondisi bangsa Indonesia hari ini dan bisa jadi yang akan datang, situasi dan keadaan yang diliputi TRAUMA.

Bagi sebagian manusia Indonesia, September menyisakan sejarah kelam. Dan September yang kelam telah berlalu, kini Oktober telah tiba. Kegiatanku beberapa hari ini masih berkaitan dengan persiapan seminar tanggal 25 Oktober bulan ini. Mengetik proposal dan undangan, kemudian mengantarkannya kepada Kol. Lukman di di Mabes AD.

Ngapain sih melibatkan unsur ABRI ke dalam seminar nanti? Keterlibatan ABRI di seminar tanggal 25 nanti cukup penting. Menurut abang-abang Forintek 66, Tentara penting diundang supaya seminar yang kita selenggarakan tidak dibubarkan sama intel. Hahaha bener juga, tapi pandangan seperti itu tentunya berbeda dengan pandangan aktivis-aktivis angkatan muda sekarang yang selalu berseberangan dengan aparat negara.

***

Iustrasi: DRH

Jakarta, 1 Oktober 1997.

Hari ini merupakan hari penting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Di Gedung DPR- MPR Senayan Jakarta, anggota DPR-MPR hasil pemilihan 1997 dilantik. Aku menyaksikan acara tersebut dari televisi di sekretariat Forintek 66 di samping Hotel Jati Tanah Abang ini. Dari tayangan itu aku melihat suasana pelantikan yang kaku. Sebagai rakyat aku sangsi atas kinerja mereka ke depan. Apakah mereka yang dilantik akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik hingga lima tahun ke depan? Atau akan semakin memperburuk situasi dan keadaan republik ini?

Selama ini DPR-MPR merupakan lembaga yang dimandulkan, digunduli oleh rejim Orde Baru. Bagaimana mungkin Presiden sebagai eksekutif bisa-bisanya mengendalikan partai politik dan sekaligus menyetir anggota parlemen (eksekutif dan yudikatif) yang notabene adalah wakil rakyat hasil pemilihan umum? Selama ini mereka hanya dapat teriak kompak, setujuuuuuuuuuuuuuu…. Untuk melanggengkan agenda-agenda Soeharto dan proyek-proyek Orde Baru.

Ilustrasi: DRH

Kapan bangsa Indonesia akan menjadi lebih baik? Suatu pertanyaan besar yang terlontar dariku di tengah situasi yang bisa dibilang putus asa ketika melihat, merasakan dan mengalami situasi dan keadaan negeri yang seperti saat ini. 

Bangsa ini sudah terbawa jauh dari cita-cita mulianya. Kepemimpinan nasional bukan lagi melahirkan sosok pemimpin dan negarawan, melainkan sosok diktator totaliter yang mengerikan.

Sistem yang diciptakan rusak dari atas hingga lapisan bawah. Untuk memperbaiki keadaan bangsa Indonesia yang telah rusak ini akan membutuhkan waktu yang lama, tidak cukup 1 tahun, 5 tahun, atau 10 tahun apabila Orde Baru Soeharto runtuh dan perubahan terjadi. Dari seribu orang yang dilantik di gedung DPR-MPR hari ini, apakah mereka memikirkan perbaikan-perbaikan itu? Apakah mereka memikirkan bagaimana situasi dan keadaan yang terjadi di akar rumput ini?

Menurut kajianku pribadi, memperbaiki bangsa ini membutuhkan lima kali lipat waktu dari sejak kerusakan ini terjadi. Apabila 30 tahun kerusakan sistem terjadi maka membutuhkan 150 tahun untuk memperbaikinya, akan terkecuali apabila terjadi revolusi terpimpin yang digerakkan kesadaran umum atas kebutuhan memperbaiki negara ini, maka perbaikan itu bisa dilakukan secara cepat dan bertahap. Sungguh generasiku menerima beban yang berat untuk menyambut apabila revolusi ekonomi, politik, sosial, dan budaya terjadi.

Rakyat telah merindukan perubahan, krisis telah mencekik batang leher sosial perekonomian rakyat.

Jakarta, 26 September 1997

Uncategorized
Ilustrasi: DRH

Ketika aku bangun tidur pagi tadi masih terasa sisa pening di kepalaku. Jam 9.00 pagi tadi aku sudah bergerak ke Matraman diantar bang Nikmat (Forum Interaksi 66 – Forintek 66). Di Matraman aku membayar jasa pengetikan dan print untuk pembuatan surat permohonan pembicara acara 25 Oktober.

Berikutnya sama Al aku ke Depok  untuk menemui Dr. Yusril Ihza Mahendra di Universitas Indonesia. Setiba di UI kami bertemu pak Krisyana kawannya Dr. Yusril. Berdiskusi dengan Pak Kris terasa menyenangkan karena tema serius dibahas dengan selingan humor. Dari obrolan itu, aku merasakan kebosanan sedang melanda dosen-dosen UI. Mereka nampaknya stress juga merasakan kebobrokan rejim Soeharto yang kian nyata. Kampus arsiteknya Orde Baru saja merasakan kejenuhan apalagi rakyat biasa seperti kami.

Sore hari aku dan Al pulang ke Jati. Suasana kereta KRL padat berdesakan.  

Anak Pergerakan (bagian 2)

Uncategorized

Ilustrasi: DRH

Jakarta, 25 September 1997.

Aku adalah anak manusia, yang peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarku. Dari Jogja merantau ke Jakarta, memilih jalan menjadi seniman dan anak pergerakan kedengarannya merupakan sesuatu yang aneh bagi sebagian orang, sekaligus asing di telinga orang-orang pada umumnya ya? Akan tetapi inilah jalan hidupku saat ini, dengan segala konsekuensi dan resiko yang harus diterima. Ketika anak-anak remaja seusiaku bersenang-senang di rumah atau di lingkungan sekolahnya, aku harus survive pasca pemecatanku dari SMSR karena demonstrasi 1994 yang lalu.

Jiwa petualang mengalir di dalam darahku. Aku mencintai petualangan. Mungkin, aku juga petualang cinta? Hahahhaa. Jika sedang sendirian seperti ini, aku senang mengingat-ingat kembali gadis-gadis yang pernah hadir di sekitarku. Yus, Ratna, Nina, Dewi, Delsy, Hilda, ya Hilda teman SMP ku yang paling pintar rangking satu di kelas tapi super cuek itu, Dian penari SMKI yang suka bergaul sama kakak-kakak Sendowo itu, Ana, Hari Dharmayanti penari SMKI Surabaya asal Pacitan yang pernah aku antar jalan-jalan ketika dia liburan ke Jogja beberapa tahun lalu, Sumarmiyati Puji Lestasi pelajar asal Temanggung yang kenalan di Ancol semasa aku study tour di masa SMP dan kemudian berlanjut saling berkirim surat.

Sekarang aku di Jakarta, tentunya aku juga membutuhkan perasaan mencintai. Walaupun nama-nama di atas masih sebatas pertemanan dan belum ada satupun yang jadi pacarku, tapi paling tidak setiap kali mengingat mereka, dadaku selalu berdesir.

Aku ini petualang, perantau, dan aku membutuhkan perasaan mencintai. Ada beberapa nama seperti Sumi (Dian) anak ibu kos Firtin dan Prapto anak SMA 10 yang kerap kali kos-kosannya jadi shelterku, Dian, Tini, Reni, ah! Semua nama-nama itu pernah dekat denganku. Ya beberapa di antaranya pernah memberikan ciuman, saling memberi ciuman sebagai kenangan yang tak pernah kulupakan. Itulah pengawalam ciuman awal-awal yang kurasakan yang membuat jantungku memompa gelegak darahku.

Oh iya, tadi siang tanpa sengaja aku bertemu dengan Metty di Pasar Minggu, saat usai telelpon di depan bengkel tempat aku dan mas Hrd (Wartawan Media Indonesia) menservis mobilnya. Metty, gadis penari SMKI yang sering pulang bareng ke kos-kosan di Bugisan ketika kami sekolah di SMSR. Dia anak Pasar Minggu atau Lenteng Agung yang sekolah di Yogya. Aku menanyakan kabar penari Clara. Kata Metty, Clara sehat dan baik-baik saja.

Jakarta ini, apalagi Tanah Abang ini benar-benar menjadi laboratorium sosial bagiku. Dinamika kehidupan Hotel Jati dengan segala aktivitasnya. Kesibukan pasar Tanah Abang yang tak pernah berhenti menyelenggarakan aktivitas perdagangan. Abang-abang aktivis 66 yang tiap malam begadang main remi, pelacur-pelacur yang menjajakan tubuhnya di malam hari, rombongan pencopet, gelandangan di bawah jembatan, anak-anak muda menenggak minuman keras di sudut pasar, judi koprok yang memberikan upeti kepada aparat yang berpatroli, suasana itu benar benar menjadi dinamika kehidupan yang nyata. Realisme sosial yang nyata di depan mataku.

Suasana Tanah Abang kurasakan remang dan kelam, seperti gorong-gorong kehidupan urban yang selalu menawarkan ancaman sekaligus romantika, orang sering menyamakan Tanah Abang dengan Kawasan Bronx di Amerika, aku tak tahu kenapa demikian. Mungkin karena Bronx sering dijadikan seting film-film Hollywood yang akrab dengan kriminalitas dan kejamnya kehidupan? Mungkin.

Di Tanah Abang ini ada Herkules, pimpinan preman yang menguasai kawasan ini. Tetapi kepada abang-abang Forintek 66 yang bermarkas di paviliun Hotel Jati ini, Herkules selalu menunjukkan respek. Ya, barangkali karena abang-abang Forintek ini juga punya masa lalu bergelimang remang kelam kaum pergerakan, bisa jadi karena itulah Herkules selalu respek kepada mereka.

Tiba-tiba melintas begitu saja pertanyaan di benak ini. Dalam situasi yang tidak mudah ini, apakah Jakarta akan melunturkan jiwa seniku? Apakah kondisi dan situasiku yang secara ekonomi terbatas ini akan kehilangan jiwa seni? Aku memiliki keyakinan, jiwa seni itu tidak akan luntur, melainkan akan terus menguat seiring berjalannya waktu dan pengalaman, sampai kapanpun higga akhir hayatku.

Aku pernah menyampaikan kepada mas Hrd, bahwa kesenianku pada dasarnya adalah rasa kemanusiaan dan kehidupan. Karya-karyaku adalah karya fenomenologis, dan fenomena yang terjadi di sekitarku tak kan kubiarkan lewat begitu saja. Fenomena itu akan menjadi pengalaman atau empiris yang menjadi dasar karya-karyaku kelak.

Oh iya, hari ini di TIM aku menghadiri acara PEN Indonesia yang hidup kembali setelah puluhan tahun mandeg. Penyair WS Rendra terpilih sebagai presiden PEN. Senang sekali bisa bertemu dengan sastrawan, seniman, dan budayawan senior di pusat kesenian ibukota. Suasananya terasa cair, non formal, asyik, tidak seperti acara-acara birokrat berdasi yang seringkali aku lihat di telvisi yang formal dan kaku. Pertemuan di Pen Indonesia hari ini terkesan luwes penuh dengan sendau gurau.

Mas Willy (WS Rendra) naik ke atas mimbar, menyampaikan pidato dengan beberapa plesetan dan sindiran yang ditujukan kepada penguasa Orde Baru, Soeharto. Mengemukakan bahasa perumpaan dengan mengambil dari riwayat kerajaan masa lalu, mas Willy bilang kurang lebih begini, “ Sekuat apapun kekuasaan tak berarti jika negara yang kuat, aman, besar tak menghasilkan kesenian, budaya, yang bisa dinikmati di masa yang akan datang!” (SELESAI)

Anak Pergerakan (Bagian 1)

Uncategorized

Ringkasan:

Melibatkan dirinya dalam urusan pergerakan dari usia remaja, menjadikan penulis ditempa oleh situasi dan keadaan. Catatan bulan September dari remang malam Tanah Abang dan geliat kaum pergerakan.

llustrasi: DRH

Jakarta, 23 September 1997.

Buku harian yang baru ini aku beli seharga empat ribu rupiah di Pasar Senen beberapa hari yang lalu. Walaupun buku ini berkalender 1998, namun aku mengisinya dengan catatan-catatan tahun ini, tahun 1997.

Jakarta 25 September 1997.

Beberapa hari absen menulis buku harian, rasanya otak ini penuh berkecamuk segala rekaman kegiatan dan gelisah pemikiran. Seharian ini berkeliling Jakarta sama Mas Hrd, Al, On, dan Mas E menggunakan mobil perjuangan Jimny Katana berwarna merah dengan musik blues yang terus terdengar dari radio classic rock 97.00 FM. Malam ini usai dari TIM (Taman Ismail Marzuki, Pusat kesenian di Jl. Cikini Raya nomor 73, Jakarta Pusat) aku menyempatkan untuk menulis kegiatan-kegiatan yang tak sempat tertulis kemarin.

Beberapa hari ini aku disibukkan mempersiapkan rencana seminar yang akan diselenggarakan pada tanggal 25 Oktober untuk menyambut peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober yang akan datang. Seminar ini harus jadi, untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi kelangsungan bangsa dan negara ini. Aku mengantar surat permohonan pembicara kepada bang Ekki Syahrudin, Pak Ruslan Abdulgani, Prof. Hardi, dan membuat undangan untuk para peserta seminar.

Pekerjaan semacam mengurus seminar ini tidak menghasilkan uang, ya demikianlah pilihan menjadi aktivis harus merelakan diri untuk bekerja sukarela tidak dibayar. Sementara kebutuhan hidup di Jakarta ini harus terpenuhi. Kebayang kan bagaimana aku harus hidup di Jakarta ini?.

Oleh karena itulah disamping mengurus kegiatan-kegiatan pergerakan yang tidak menghasilkan uang, aku mencoba untuk berusaha menghasilkan uang dengan cara lain. Kebetulan ada pemilik lukisan S Soedjojono yang akan menjual koleksinya itu. Untuk harga dan kolektor sudah ada jawabannya melalui mas Heri Mulyanto di Kemang. Semalam aku sempatkan ke tempat mas Heri untuk menanyakan keberlanjutan urusan lukisan itu. Dari si kolektor mas Heri bilang harganya tiga puluh lima juta. Lumayan seandainya lukisan itu laku, aku bisa mendapatkan komisi dari hasil penjualannya.

Aku berharap lukisan pak Djon itu asli supaya kelak ketika benar-benar terjual tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Aku belajar banyak dari proses ini, ya sekalian belajar berbisnis lukisan apa salahnya?

Beginilah perjuangan hidup, setiap kali aku mengantarkan undangan, maka aku mendapatkan uang transport dari abang-abang Forintek 66 (Forum Interaksi Angkatan 66). Aku tak serta merta menghabiskan uang itu, sebagian aku tabung. Terkadang terkumpul limabelas ribu atau dua puluh ribu rupiah, itu aku kirimkan untuk Ibuku di Semarang melalui pos. Beginilah anak pergerakan, ditempa oleh situasi dan keadaan, supaya kelak dapat menghadapi masa depan yang misteri itu. Kiranya Tuhan memberkati dan merestui perjalananku.

Beberapa hari ini aku merasa ngeri ketika mendengar berita-berita dari media massa yang tak henti-hentinya memberitakan bencana alam dan tragedi umat manusia yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Kelaparan terjadi di Lampung, padahal Lampung itu setahuku adalah daerah transmigran yang merupakan lumbung pangan, kelaparan juga terjadi di Irian Jaya, bukankah Irian Jaya kaya akan hasil alam yang murni?

Di Cakung tiga puluh nyawa melayang akibat kecelakaan bus, sementara di wilayah lain kekeringan mengakibatkan petani gagal menuai hasil panen. Nilai mata uang dollar naik terhadap rupiah yang mengakibatkan perekonomian nasional sempoyongan, kebakaran hutan melanda sebagian wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dikarenakan pembukaan lahan baru oleh para cukong yang mengekspoloitasi hutan secara membabi buta. Lantas, menjadi tidak adil manakala masyarakat adat dipersalahkan karena tradisi peladang berpindah. Apakah benar demikian? Atau para cukong kapitalis membutuhkan kambing hitam belaka sebagai cara cuci tangan mereka terhadap permasalahan yang sebenarnya?

Jika sudah mengerucut permasalahan seperti di atas, maka rejim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto saat ini semakin terasa kejam dan luar binasa! Ya, bukan lagi luar biasa, melainkan luar binasa! Membinasakan potensi keberlanjutan masa depan anak bangsa.

Orde Baru tak beda dengan Orde Firaun, yang tidak mengindahkan tanda-tanda yang Tuhan tunjukkan melalui bahasa alam. Hutan terbakar, rakyat kelaparan, bencana gagal panen, nilai mata uang rupiah anjlok, negeri jiran seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Philipina menanggung akibat buruk dari asap kebakaran hutan itu.

Aku merasakan ada pesan di balik semua kejadian ini. Tuhan Semesta Alam sedang memberikan tanda yang apabila diterjemahkan mengandung makna dan tujuan tertentu. Apakah ini tanda-tanda bahwa akan ada perubahan besar di tanah air?

Saat aku menulis ini, suara sirene pemadam kebakaran meraung  melewati jalanan Jati Baru Tanah Abang, entah menuju ke mana. Hotel Jati tidak pernah tertidur, tamu-tamu short time datang dan pergi silih berganti. (BERSAMBUNG)

Catatan Selepas Dzuhur Kepada Imam Samudra

Uncategorized

Saat aku bertatatap muka pertama kali denganmu di rumah tahanan Polda Bali awal tahun 2003, yang ada di dalam benakku adalah kesedihan. Betapa tidak sedih? Di balik jeruji besi di hadapanku berdiri seorang alumni Mujahidin Afganistan, kamu menggenggam jeruji besi itu, menatapku dengan tajam dan tidak berbicara apa-apa kecuali menunggu ucapan sebuah salam dariku.

Lantas berikutnya adalah dialog dan pembahasan tentang jihad. Kamu begitu fasih menyampaikan dogma-dogma yang kau pahami. Bung, aku percaya bahwa setiap pemuda yang bertemu denganmu dengan serta merta akan mengikutimu, karena dogma-dogma yang kamu sampaikan itu bagaikan bahan bakar paling yahud dari semua bahan bakar ideologi di dunia ini. Itulah ideologi masuk surga, itulah pertemuan dan perayaan berjumpa bidadari-bidadari.

Ketika aku bertatap muka denganmu dan kamu mencoba membakarku dengan ideologimu, aku tidak mau terbakar karena di hadapanku muncul barisan wajah-wajah anak-anak yatim yang dilahirkan dari bom bunuh diri yang kau ciptakan. Tidak hanya dari para korban, melainkan dari para pelaku yang kau rekrut sebagai pengantin bom bunuh diri.

Pengantin-pengantin kau rekrut, lantas atas nama ideologimu kau mencoba mempertemukan mereka dengan para bidadari perawan di Surga. Betul-betul tega, sebuah ideologi memisahkan anak-anak dan istri dan menggantikan kebahagiaan mereka dengan imajinasi bidadari. Bagaimana mungkin memperjuangkan Islam tetapi korban dari perjuangan itu adalah kaum Muslim sendiri?. Kau menjawab itu, dengan dalil bahwa serangan bom 12 Oktober 2012 adalah operasi militer yang tidak lepas dari human error. Lantas bagaimana dengan pertanggungjawaban anak-anak Yatim itu? Apakah mereka adalah korban operasi militer yang kamu ciptakan? Tiada jawaban dari pertanyaan itu.

Bung Imam Samudra, jika kamu adalah sebuah buku, maka di dalam lembar-lembar catatanmu adalah catatan perlawanan terhadap Amerika dan negara-negara imperialis sekutunya. Tetapi menjadikan Nusantara sebagai medan peperanganmu tentu itu suatu bahan yang harus diuji karena kegagalan-demi kegagalan itu membuktikan bahwa di dirimu membawa rembesan persoalan-persoalan yang terjadi di Afganistan yang penuh dengan peperangan itu ke wilayah yang sebenarnya dalam damai dan tiada peperangan. Sehingga kamu menuai kegagalan demi kegagalan, itulah fakta yang harus dicatat sebagai koreksi pada ideologimu, bahwa ideologimu tidak dapat hidup di Nusantara yang pada kenyataannya adalah tanah airmu sendiri, tumpah darahmu sendiri tempat kamu dilahirkan.

Aku tidak menafikkan bahwa kebijakan politik Amerika dan negara-negara sekutunya seringkali kebablasan, masih meneruskan tradisi agresi dan kooptasi terhadap sebuah negara atas nama demokrasi. Aku tidak menyangkal bahwasanya kebijakan politik Amerika seringkali mengorbankan kepentingan perdamaian. Mengajukan demokrasi dengan moncong senjata terhunus kepada kemanusiaan, itulah tiran! Itulah apa yang dinamakan kemunafikan yang harus dilawan. Maka aku menganggap wajar jika Bung Imam mengatakan pendapatku sekuler, dan mengatakan aku kiri. Itu bisa aku terima. Tetapi apa bedanya pelaksanaan ideologi Bung Imam dengan apa yang dilakukan para tiran?

Tujuh tahun kemudian Prison and Paradise, sebuah film dokumenter berdurasi 93 menit lahir sebagai sebuah karya pertama film dokumenter panjang. Dari 2003 hingga 2007 itu, ikhtiarku mengerjakan riset secara independen pada akhirnya sampai pada pintu gerbangnya. Dokuementer Prison and Paradise ini adalah kesaksian, bahwasanya gerakan bom bunuh diri yang mengatasnamakan Islam ternyata banyak membuahkan hasil lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.

Dalam ikhtiar mengerjakan dokumenter ini, aku berlaku bukan sebagai pembuat film, aku hanya menjadi perantara yang mengantarkan footage-footage yang aku kumpulkan itu menemukan sejarahnya sendiri. Mengapa demikian? Karena aku menyadari bahwa gambar-gambar bergerak berupa rekaman video itu hidup sebagai tuntutan sejarah. Maka itulah fakta dan kenyataan yang mesti disampaikan.

Rue Spontini

Uncategorized

Jakarta hujan
Mengembara kenangan saat gerimis  jatuh di teras rumah-rumah di sepanjang Rue Spontini
Di kaca yang menyublim aku melihat tanaman kering
Berdialog dengan nasibnya sendiri
Jakarta hujan
Seperti gerimis yang jatuh membasahi dinding dinding bangunan di sepanjang Rue Spontini
Langkah kecil kakiku menapaki jalanan Paris
Di bulan November yang terasa beku…
Aku merindukannya…

etalase
Sungai Sein dan Eifel
Kesibukan Metro dan lorong-lorong stasiun
Republik dan restoran
Kopi dan warung bir
Serta alunan ukulele dari asrama mahasiswa Indonesia
Yang menyelipkan kisah cintanya di antara deretan catatan tesis.

Kabar Baik dari Makassar

Uncategorized

Kabar Baik dari Makassar

Guys, Nama sahabat kecilku ini Pardi, ia tinggal di pulau Tangnga, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia sangat suka membaca buku dan menggambar.

Pada saat kawan-kawan peserta Eagle Awards Documentary Competition 2018 tiba di pulau Tangnga, sdri. Lutfi Retno Wahyudyanti dan Gugun Junaedi membuka tas dan membagikan buku untuk Pardi dkk yang antusias mengerubungi kami.

 

Ia dan kawan-kawan sebayanya dengan semangat menyambut buku-buku, karena jumlah buku tak sebanding dengan jumlah mereka maka jadilah mereka berebut membacanya. Guys, aku terharu berada di tengah momen itu.

Bagi mereka, membuka buku adalah pengembaraan pada luas cakrawala pengetahuan. Anak-anak di pulau terpencil ini haus akan ilmu pengetahuan, mereka selalu rindu menunggu armada Perahu Pustaka yang dinahkodai oleh kawan Ridwan Alimuddin hadir di dermaga membawa buku-buku.

Dari tas saya buka bekal buku gambar dan spidol, Sdri. Lutfi membuka pastel-pastel pewarna. Suasana kembali menjadi riuh rendah, oleh sebab Pardi dan kawan- kawannya sangat antusias untuk belajar melukis.

Mereka melukis ikan, kerang, kapal, rumah, dan perahu Sandeq warisan leluhur mereka, bangsa Mandar, bangsa pelaut yang tangguh. Gambar-gambar itu menunjukkan memori budaya maritim mereka masih sangat kuat, selain bunga, angsa, pohon bakau, dan kisah-kisah keseharian.

Foto ini kami abadikan di Dermaga Pulau Tangnga pada saat kami hendak meninggalkan pulau menuju kota kabupaten Polewali Mandar. Saya melihat di kejauhan Pardi berlari ke arah kami, ia lantas duduk di samping saya.

“ Apa cita-citamu, Pardi?” Tanya saya.

“ Menjadi pemain sepakbola.” Ia menjawab lirih hampir tak terdengar, matanya berkaca-kaca. Ia tahu kami akan segera meninggalkan pulau dengan perahu kepala kampung, Guru Muksin.

Citra, Bunga, Ridwan, dkk berdatangan. Mereka berlari ke ujung dermaga dan melambaikan tangan pada saat kami bertolak dari dermaga. Guys, aku terharu!

Di pelabuhan udara Hassanudin Makassar pagi ini, saya mengajak anda semua mendoakan Pardi dan anak-anak Pulau Tangnga dan anak-anak rakyat biasa di berbagai wilayah terpencil di Indonesia lainnya. Anak-anak yang belajar di sekolah biasa, jauh dari segala kemewahan yang terpajang di etalase kota-kota besar.

Anak-anak yang lahir dari rahim ibu rakyat biasa seperti Pardi dan kawan-kawannya ini memiliki cita-cita yang luar biasa dan memiliki hak yang sama dalam segala bidang sebagai manusia Indonesia yang berhak meraih masa depan yang ideal.

Sampai jumpa lagi wahai mata yang berkaca kaca, hidup adalah berjuang meraih mimpi-mimpi.
Saya melihat mimpi mereka yang besar. Lebih besar dari Indonesia. Semoga Indonesia semakin kokoh menjadi lebih baik. Amin!
#eagleawardsdocumentarycompetition2018
#eadc2018 #menjadiindonesia #literacy #perahupustaka #pulautangnga #polewalimandar #sukumandar

CATATAN-CATATAN HARIANKU

Blogroll

Para pembaca yang budiman, mulai bulan ini saya akan menuliskan kembali catatan-catatan harian saya di masa remaja. Semoga catatan-catatan tersebut dapat menjadi inspirasi bagi para pembaca sekalian.

Terimakasih atas kesetiaan para pembaca terhadap blog saya ini. Kritik dan saran dari para pembaca sangat saya tunggu-tunggu, sebagai bekal untuk memperbaiki kualitas konten blog.

Terimakasih untuk semuanya.

Salam hangat

SAKSI

MENUJU NARITA!

Uncategorized

AH AKU MENUJU NARITA!

DI DALAM PESAWAT GARUDA INDONESIA AIR WAYS

5 Oktober 2011 pukul 11:10 Wib

Jam tanganku menunjukkan pukul 23:10 waktu Indonesia bagian barat. Aku sudah berada di lambung pesawat Garuda Indonesia yang sebentar lagi akan mengantarku menuju bandar udara Narita, Tokyo-Jepang. Seharusnya sudah waktunya tutup pintu, tetapi masih terlihat beberapa penumpang Indonesia memasuki pesawat dengan tergopoh dan wajah agak panik sambil mencari nomor tempat duduknya.

Dalam perjalanan ke luar negeri, ini kali pertamanya aku naik maskapai penerbangan kebanggaan Indonesia, Garuda Indonesia. Pramugari pertama yang menyapaku bernama Bianca. Dia menyapa dengan kalimat yang halus.

“Selamat malam, Pak”

“Selamat malam, Bianca” Jawabku

Bianca sedikit terkejut mendengar aku menyebut namanya. Ia memoles terkejutnya denga tersenyum, ia kemudian tahu kalau mataku sempat menatap nama di dadanya.

“Sedang study tour, Pak?” Bianca bertanya lagi.

“Menghadiri festival film dokumenter, Bianca” Jawabku

Bianca memperlihatkan wajahnya yang sumringah, lantas ia menanyakan film apa yang diputar di Jepang. Aku menjawab semua pertanyaan Bianca seperti agen perjalanan wisata sedang menjelaskan apa saja yang akan customer dapatkan dari paket destinasi.

“Sayang banget ya, nggak bisa nonton. Saya kembali tanggal tujuh” Bianca menanggapiku di tengah kesibukannya mengatur koper-koper.

Garuda Indonesia terasa mulai bergerak. Bianca membereskan beberapa loker yang belum tertutup. Dia kemudian bergabung dengan pramugari lainnya untuk bersiap mengawal penerbangan. Pandanganku menatap keluar, pemandangan Bandar udara internasional Soekarno Hatta di malam hari. Hanya terlihat gelap dan remang lampu tungsten. Sementara di permukaan tanah tersebar cahaya lampu yang menandakan batas landasan pacu.

Sebentar lagi burung besi ini lepas landas terbang. Alangkah bangga aku naik Garuda maskapai kebanggaan milik bangsa Indonesia, bangsaku. Di lorong lambung pesawat ini, di antara kursi para penumpang aku melihat Bianca mulai memperagakan penggunaan emergency kit. Kawan-kawan pramugarinya juga melakukan gerakan yang hampir sama. Seiring dengan peragaan Bianca, Garuda mulai bergerak menuju landasan pacu. Memperhatikan pramugari memperagakan emergency kit selalu menciptakan imajinasi di ruang kepala. Suasana menjadi terasa lebih aneh seperti melihat perempuan menari sambil mengenakan gesper dan balon.

Sementara kegelapan di luar jendela nampak bergerak, aku melihat beberapa pesawat dari berbagai maskapai penerbangan internasional masih parkir di tempatnya. Ketika pesawat telah memasuki landasan pacu, Bianca dan kawan-kawannya telah masuk ke dalam ruang pramugari dan tak terlihat lagi. Mesin jet bergemuruh dan pesawatpun melaju dengan kecepatan tinggi, lepas landas meninggalkan Jakarta.

Ah… Garuda benar-benar terbang semakin tinggi, menjauh dari Cengkareng, aku menyaksikan kerlip-kerlip lampu kota di bawah sana. Terekam tadi dalam penglihatanku tulisan Soekarno Hatta. Namun ada yang janggal dalam tulisan itu, yang menyala hanya Hatta, sementara tulisan Soekarno lampunya padam.

Pesawat ini besar, sayapnya lebar dan panjang. Dari tepi jendela kaca aku pandang Jakarta di bawah sana seperti lautan kunang-kunang menggendong lampu tungsten. Di dalam lambung Garuda ini musik klasik mengalun mengiringi deru suara noise mesin pesawat jet. Fasilitas musik dan hiburan di monitor belum aktif. Aku melihat tulisan welcome aboard, bienvenue a bord yang terbaca di monitor merah putih dengan lambang Garuda Indonesia di pojok kanan atas. Service not available. Service non disponible begitu responnya kalau dipencet bagian tombol mode. Ah dasar filmmaker ndeso!

Sebelumnya kalau aku naik Emirate, Etihat atau Korean Air, kalau pesawat udah terbang begini aku bisa segera ketemu Bob di fasilitas entertainment flight. Aku selalu pengen tahu, mencet-mencet menu apa saja yang tersedia di dalam fasilitas hiburan pesawat Garuda ini. Ada gamelan Jawa gak ya? Ada lagunya mas Didi Kempot atau Mantus nggak ya? Ada lagu tradisional Nusantara gak ya? Ah…belum juga tersedia! Aku mulai sebel!

Tadi aku sempat menelepon Ibu ketika aku di dalam taxi menuju Bandara Soekarno Hatta. Kepada Ibu aku pamit dan mohon doa restu. Ibu bilang sedang di warung jamunya di Gunung Pati-Semarang.

“Jam pira budale, Le?” Tanya Ibu

(Jam berapa berangkat, nak?)

“Jam setunggal welas, Bu” Jawabku

(Jam sebelas malam ini, Ibu)

“Yowis ati-ati, nyangoni slamet, mengko yen Ibu mulih seko warung mengko bengi tak lungguh neng duwur omah, nek ndelok pesawatmu yo Le…”

(Baiklah hati-hati dan Ibu membekali selamat, nanti sepulang dari warung, di rumah ibu akan duduk di teras atas dan melihat pesawatmu melintas di atas rumah.)

Mendengar kalimat Ibu seperti itu aku langsung amblas terharu. Aku tahu rute pesawat yang aku tumpangi ini tidak lewat di atas kota Semarang. Jika aku pulang ke Semarang, seringkali aku bersama Ibu duduk-duduk bercengkrama di atas rumah sambil menikmati teh hangat dan melihat bintang-bintang di langit malam. Pada suasana seperti itu sesekali ada pesawat terlihat lewat di atas Semarang dengan lampunya yang kerlap-kerlip. Aku selalu membayangkan perjalanan jauh, kalau menyaksikan pemandangan semacam itu.

“Iya Bu…nanti malam pesawat saya lewat di atas Semarang saya dada dada ya Bu…”

Ibu malam ini pasti duduk di atas rumah. Dan ketika ada pesawat lewat di atas Semarang, ibu pasti menyangka aku berada di pesawat itu. Ibu pasti berdoa untuk perjalananku. Ya perjalanan jauh kesekian yang ditempuh anak kandungnya.

Bulan setengah buah melon tergantung di luar jendela Garuda, pesawat sudah tinggi sekali. Di luar hanya terlihat lampu sayap kedap kedip, sesekalai pesawar memasuki awan tebal, rembulan setengah buah melon yang terlihat di sebelah kiri belakang pesawat itu nampak malu-malu bersembunyi di sela relung awan malam, beberapa bintang terlihat di kegelapan langit nan misteri. Aku tersadar, ini perjalanan jauh lagi, di atas Laut Cina Selatan, ah, di dalam lambung Garuda jet ini aku menuju Narita-Jepang!

Secangkir Kopi di Bandara Kuala Lumpur

Uncategorized

Secangkir kopi

Di dinding kaca-kaca kulihat pemandangan sore bandar udara Kuala Lumpur

Menanti keberangkatan

Kopi hitam

Seperti ruang sinema yang gelap

Tempat mampirnya kisah-kisah kehidupan

Yang terekam dari berbagai bangsa

Proyeksi di permukaan layar

Manusia dan segala yang dihadapi

Suka dan duka

Kegembiraan yang fana

Atau senandung dan tarian

Perayaan-perayaan atas pertanyaan

Kalau sudah begini, aku teringat pada kisah masa kecil, setiap liburan sekolah

Ikut ayahku berkeliling Jawa Tengah

Memasarkan mie instant produknya Om Liem

Bertemu masyarakat yang datang membawa tikar atau termos, kadangkala dibawa serta bantal dan guling

Sinema dan masyarakat

Lantas Bapakku mengajak mereka menyanyi sambil berdiri

Lagu kebangsaan Indonesia Raya

Sebelum film dimulai

Ayahku ahli propaganda

Dalam satu malam berkardus-kardus mie instan habis terbeli

Namun di belakang proyektor film Cingkang made in China

Ribuan pertanyaan berkecamuk di kepalaku

Bagaimana gambar bergerak?

Bagaimana gambar bersuara?

Mengapa harus menggunakan cahaya?

Film semacam doa-doa di ruang gelap

Yang menghantarkan manusia pada tawa canda, atau air mata, dan duka lara

Film semacam kartu pos pembawa pesan

Yang bisa mengajak merenungi makna

Ah… masa kecil itu, seperti Cinema Paradiso

Jika aku sudah besar kelak

Aku mau bikin film tentang ayahku

Demikian janjiku dalam hati

Dan kini

Pada setiap petualangan menyambangi ruang-ruang gelap sinema

Aku selalu teringat masa masa indah itu

Ketika setiap pertanyaan belum ada jawabannya

Aku mencari

Dan aku menemukan

Dari gerbang cahaya

Sinema menerangi kegelapan

4F684760-4159-4093-BCDF-EB2AD7CB0E16

Kacang dan kopi

Secangkir kopi

Kawan perjalanan

Hitam warnanya

Seperti ruang gelap sinema

Aku mau

Bikin film

Menggerakkan gambar-gambar

menghibur masyarakat dunia

KUALA LUMPUR

Uncategorized

Bayang-bayang rebah

Di landasan pacumu

Menandakan hari telah sore

Dan aku menunggu

Bersama kacang dan kopi

Di Golden Launge yang tak terlalu ramai

Perjalanan lagi

Belajar lagi

Menjemput ilmu ke Penang

Ah… negeri jiran

Di pinggir selat Malaka

Yang ramai di masa lalu

Jadi kenangan masa kini

Pesawat jet itu masih istirah

Ia akan terbang lagi

Mengantarkan pada destinasi baru

Budaya Melayu…