Sahabat yang baik,
Dunia kecil film Indonesia mula bergeliat sejak tahun lalu, lantas tahun inipun terus bergeliat. Bertanding dengan berbagai isue besar tentang korupsi dan bencana. Menyusup di antara tema-tema politik yang rentan konflik dan berbagai tajuk berita basi yang sejak dulu sama saja. Seperti mendengar lagu lama dengan aransemen yang baru. Semoga tak salah jika saya memilih tidak mengkonsumsi tayangan televisi atau berita koran yang membingungkan dan lantas membuat saya depresi.
Hal menarik yang dapat menjadi obrolan warung kopi saat ini adalah dilantiknya anggota baru BP2N. Badan Pertimbangan Perfilman Nasional. Tentunya menjadi menarik ketika sebagian di antara mereka yang dilantik adalah orang-orang yang pernah duduk bersama dalam satu komunitas para penggiat film Indonesia yang kemudian menamakan diri sebagai Masyarakat Film Indonesia atau MFI. Kesediaan untuk dilantik sebagai anggota sebuah lembaga yang di jaman Orde Baru, ketika Departemen Penerangan masih ada begitu kuat kedudukannya sebagai salah satu lembaga kontrol itu sungguh merupakan pilihan yang berani dan tidak main-main. Dalam negara demokrasi, mau tidak mau semua orang harus menghargai keputusan seseorang untuk memilih atau dipilih.
Tetapi bagi saya, kejadian terbaru ini seperti panggung baru yang terang benderang menyajikan drama. Penuh lampu warna warni dengan sajian lakon lama tetapi setingnya baru. BP2N, seperti diketahui oleh sebagian penggiat film Indonesia, adalah satu lembaga yang didirikan dengan komposisi dari berbagai organisasi masyarakat, perwakilan pemerintah dan aparat keamanan maupun individu dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Sejarah mencatat, BP2N sebagai lembaga yang telah menghasilkan banyak sekali pembinaan film, sangat menarik mengkaji film-film di jaman BP2N. Sebuah lembaga yang diatur oleh produk perundangan dan dijaga ketat oleh menara gading Orde Baru yang tak terjamah oleh kekuatan massa kritis sekalipun, pada masa itu.
BP2N adalah kontrol, kontrol adalah praktek kekuasaan untuk stabilitas keamanan nasional. Keamanan nasional adalah Stabilitas politik, supaya kekuasaan terus berjalan tanpa ada gangguan. Maka film yang diproduksi saat itu sebisa mungkin mendukung kerja-kerja kekuasaan. Sebagai contoh, tidak boleh sebuah film menyinggung dan melanggar norma yang terkait dengan SARA; Suku, Agama dan Ras. Anggotanya diatur dalam juklak: Petunjuk pelaksanaan sebagai anggota badan yang berfungsi sebagai bagian mesin kontrol kekuasaan.
Tetapi sekali lagi, dalam negara demokrasi, manusia harus punya kesadaran untuk legowo. Menerima keputusan orang lain. Perbedaan semestinya menjadi wacana yang menarik, ditaruh dalam diskursus dan diserahkan pada dialektika sebagai sebuah bagian dari kesepakatan bernegara. Bahkan di dalam alam demokrasi, sebagai taman sari perbedaan, siapapun itu, apapun kepentingannya semestinya mendapat ruang. Demokrasi bukan tiran, tetapi pada satu sisi, demokrasi bisa jadi menjadi tiran manakala demokrasi itu tidak mengakomodasi adanya perbedaan.
Dulu di jaman konflik politik kebudayaan 65, ketika Manikebu dan Lekra berseteru, bangsa Indonesia baru 20 tahun merdeka. Kesadaran atas demokrasi masih samar. Revolusi dan kekerasan perang yang mereka alami (angkatan masa itu) menjadikan manusia saling membunuh. Yang komunis harus dibantai, yang beragama pasti benar. Begitulah demokrasi yang dikonstruksikan pada masa itu. Tentunya ini doktrin yang pada akhirnya kini kita tahu, sungguh menyesatkan arah perjalanan republik Indonesia yang besar ini.
Dulu yang Lekra harus di hilangkan, di bui di Pulau Buru, Nusakambangan, Bukit Duri atau Salemba dan Cipinang dan penjara-penjara lainnya yang tercatat maupun tidak. Pembunuhan membuat mampet jalannya dialektika demokrasi. Tidak ada lagi diskursus kebudayaan yang terbangun sejak pembunuhan-pembunuhan itu, manusia menjadi ganas. Orde Baru yang berdiri dipimpin Soeharto yang kebijakannya represif. Otoriter, militeristik, menjadi agama baru, Markas tentara bersanding dengan Gereja, Pura, Masjid dan Wihara. Demokrasi Pancasila katanya, prakteknya Demogergaji pencak jilat. Asal Bapak Senang kenapa tidak?
Dan BP2N lahir dari sejarah itu. Menjadi penjilat kekuasaan. Bagaimana mungkin seseorang melakukan perubahan jika dia berada di dalam sebuah sistem yang meninabobokkan dengan gaji, akses kekuasaan, anggaran dana yang cukup besar, serta menjadi raja kecil yang dapat menentukan ke mana arah perfilman nasional. Beberapa anggota yang sadar dan punya akal sehat mulai menyatakan sikap. Keluar dari BP2N. Inipun harus dihargai, hati nurani mungkin lebih bicara.
Jika boleh jujur, angkatan sekarang ini mesti berani mengkoreksi. Tak perlu disebutin nama. Ada yang pernah menjabat ketua BP2N, ada yang anggota. Dan kini mereka masuk lagi ke dalam gedung yang pernah disegel PLN karena tak bayar iuran listrik bulanan itu. Tentunya alasan yang baik untuk melakukan perubahan dari dalam.Tetapi sadarkah jika yang sedang dihadapi generasi ini adalah mutan-mutan Orde Baru?
Seperti Kupu-kupu yang tak mengenali lagi kepompongnya. Itulah yang terjadi pada Orde Baru, bahaya laten, yang bermetamorfosa. BP2N telah bermetamorfosa, sehingga mampu membuat mata orang-orang film Indonesia silap. Mungkin di antara teman-teman yang menyediakan diri untuk dilantik ada sebersit harapan. Barangkali dapat merubah dari dalam. Seperti di atas saya tulis, beranikah merubah petunjuk dan pelaksanaan yang telah diatur dalam perundangannya?
Ini adalah babak baru bagi Masyarakat Film Indonesia sebagai komunitas dan bagi masyarakat film Indonesia sebagai kompleksitas seluruh pihak yang berada di dunia kecil perfilman nasional. Menentukan sikap adalah satu hal yang sulit. Menentukan arah gerakan untuk mencapai perubahan yang menjadi cita-cita bersama ternyata sulit, menghargai keputusan orang lain dan lantas bertanding dalam diskursus ternyata lebih sulit, MFI adalah satu komunitas yang terdiri dari orang-orang terkenal, artis-artis, produser dan sebagian pekerja film, gembel depresif dalam perfilman nasional seperti sayapun boleh masuk. Pintu MFI itu terbuka bagi siapapun.
Sikap MFI sebagai komunitas sudah jelas, mencabut Undang-undang Perfilman adalah mutlak dan menjadi sikap organisasi, sikap tentunya tidak bisa dikompromikan. Melawan adalah bagian dari sikap. Dilema yang dihadapi MFI tentunya adalah dilema bersama. Mengakui keberadaaan teman-teman yang berada di BP2N sekarang tentunya adalah dilema. Tetapi MFI merupakan kesatuan sikap. Satu roh dan tujuan.
Mencabut UU Perfilman berarti tak lagi mengakui BP2N sebagai mata rantai dari poduk perundangan dan peraturan yang lahir Orde Baru. Kalau tidak mengakui lagi kenapa harus ada reaksi? Sudahlah..mari jalan terus. Bikin film, ngobrol film, diskusi film, workshop film dan perlawanan harus terus berjalan. Dalam perjalanan tentunya ada yang berhenti, ada yang pulang, ada yang jajan, ada yang kencing. Bagi yang kuat, mari terus berjalan.
Tentunya MFI lahir dari kesadaran, jika kesadaran itu pudar, mau kemana MFI sebagai sebuah wadah perlawanan?. Merapatkan barisan, rendah hati dan merekrut semua pihak untuk peduli pada perfilman nasional adalah yang terbaik untuk melakukan perlawanan terhadap sistem Orde baru yang telah bermetamorfose. Teman tetap menjadi teman, sahabat tidak akan pernah terlupakan. Tetapi jika dalam perjalanan menuju perbaikan sinema Indonesia ini mereka tidak mau ikut, ya selamat tinggal. Toh nilai-nilai mesti terus diperjuangkan. Walaupun sendiri…
Selamat menghadapi jalan terjal dalam kancah peta buta perfilman nasional.
salam
tek kotek kotek kotek
anak ayam terus berkotek
tek kotek-kotek kotek
nanananananannana…
(Seperti pernah dinyanyikan Mira Lesmana di aksi MFI di Bundaran HI, Jakarta)
0.000000
0.000000