Hari Bumi

Uncategorized

evolusi

Hari Bumi, 22 April

Kemarin saya berangkat pagi dari Jakarta. Penerbangan pukul 06.10 pagi, Garuda mengantarkan kami ke Medan. Untuk selanjutnya dengan Riau Air saya dan kawan-kawan melanjutkan perjalanan ke Meulaboh.

Di atas pesawat baling-baling ganda, saya menatap kebawah, tidak terlalu tinggi terbang pesawat yang kami tumpangi. Tidak seperti pesawat bermesin Jet yang dapat terbang puluhan ribu feet. Saya masih dapat melihat pegunungan dan daratan Sumatra yang telah gundul, jajaran pohon hijau yang dibariskan rapi di bawah itu pasti perkebunan sawit…

Teringat foto-foto seorang kawan yang bertemu di Kalimantan saat saya berkunjung dan mendokumentasikan kegiatan auditor bersama Smart Wood, satu NGO yang bergerak dalam sertifikasi hutan. Kawan Cecep dari IPB Bogor yang bertemu saya di Malinau Kalimantan Timur itu, menunjukkan foto lahan-lahan di Sumatra yang telah gundul. Foto-foto yang saya lihat itu seperti memaparkan bencana di masa depan yang lebih mengerikan ketimbang perang konvensional. Riau, Jambi dan beberapa daerah di Sumatra yang telah dirusak oleh perusahaan kayu.

Saya terbang di atas pulau Sumatra. Menyaksikan lahan-lahan hutan yang terlihat gundul, serasa hidup ini miris ya. Menyaksikan atmosfer Sumatra yang berasap, bukan awan yang menutupi pemandangan saya, tetapi asap sisa pembakaran hutan yang menutupi pemandangan di bawah.

Kalimantan dan Sumatra, pulau yang kaya hasil hutan. Tapi kini, manusia Indonesia merasakan dampaknya. Kemana kayu-kayu itu pergi? Tentunya jalur perdagangan international dan orang-orang yang terlibat di dalam lingkaran bisns itulah yang diuntungkan. Bagaimana nasib masyarakat Dayak? Orang Rimba? dan masyarakat hak pewaris adat yang lebih berhak dari pengolahan hutan? Tanpa basa-basi saya bisa mengatakan para pengusaha kayu itu tak pernah peduli dengan nasib masyarakat ulayat adat. Memupuk kekayaan lebih besar, lebih besar dan lebih besar lagi lebih penting dari semua persoalan moral?

Saya nanti kalau pulang ke Jakarta akan melewati jalur di atas pantai utara Jakarta. Saya sering mengunjungi wilayah konservasi Mangrove di Angke, tempat perlindungan burung dan satwa langka. Di sana, di antara suaka margasatwa Muara Angke, suasana sungguh memprihatinkan. Dikelilingi wilayah reklamasi Pantai Indah Kapuk yang kapitalistik dan tak berwawasan lingkungan itu, Suaka Margasatwa Muara Angke dipenuhi dengan sampah buangan dari berbagai wilayah Jakarta. Sedih kalau saya duduk di dermaga lapuk, tempat perahu nelayan bersandar. Di sana, sampah dan sampah mengalir seiring ledakan populasi Jakarta yang pengap dan menderita.

HidupĀ  ini dari pagi bangun tidur hingga malam hendak tidur, tanpa sadar kita hidup di tengah potensi bencana. Persoalan lingkungan yang tak pernah terselesaikan. Sudah saatnya melakukan satu kerja nyata, menelamatkan ingkungan hidup dari bencana manusia yang lebih besar lagi.

Pagioksida

Siangoksida

Soreoksida

Malamoksida

Setelah setahun lalu saya berkunjung ke sini saya menyaksikan perubahan yang besar. Keramaian jalan raya dan toko-toko, menunjukkan perdagangan dan kehidupan sudah mulai berjalan normal. Tetapi di mana-mana saya menyaksikan plastik, dimana-mana saya menemukan plastik, sementara motor makin banyak, plastik dan karbondioksida…SELAMAT HARI BUMI!

botol kecap raksasa

Uncategorized

Ada satu kenangan yang tak terlupa, ketika saya masih kecil. Tentang botol kecap raksasa yang bisa berjalan di jalan raya kota Semarang. Serasa aneh ketika melihat Botol Kecap bermerk Kecap Kedelai berada di antara mobil-mobil. Bentuknya tentu paling aneh di antara mobil yang lain. Saya selalu menyempatkan untuk berlari-lari menyapa dan meneriaki botol kecap itu bersama kawan-kawan saya. Seperti orgasme ketika kami melihat botol kecap itu. Saya seperti mendapat hiburan, pemandangan aneh, khayalan dan keliaran bentuk. Ya Botol kecap raksasa yang bisa berjalan di antara mobil-mobil di jalanan kota Semarang…

Ketika saya menempuh perjalanan ke Puncak Pass. Dari arah Bogor, sebelum Masjid besar nan Megah yang berdiri di pegunungan yang ditumbuhi pepohonan teh, sebelah kiri jalan pasti saya temui pemandangan aneh. Berdiri di antara warung-warung yang menjual aneka makanan, Jagung bakar, Ubi oven Cilembu, Minuman bandrek, mie rebus atau jajanan yang lainnya. Sebuah benda yang mengingatkan saya akan kenangan masa kecil. Botol Kecap Raksasa! Tapi merknya Kecap tcap Bangau. Saya selalu mengomentari Botol raksasa itu. Saya membayangkan kalau botol kecap itu isinya bisa dibagi cukup untuk satu kelurahan!

Botol kecap raksasa, bagi saya ternyata bukan pemandangan yang biasa, selalu menggelitik perasaan dan menjadi goresan kenangan. Bisa jadi botol kecap raksasa menghegemoni imajinasi saya. Luar biasa. Saya pikir pembuat botol kecap raksasa itu adalah seniman dan pastinya maestro menurut saya. Adanya botol kecap raksasa itu adalah bentuk kreatifitas yang liar, ekspresi yang janggal sekaligus mengajak bercanda setiap orang yang melihatnya. Saya bisa belajar banyak dari sebuah benda yang unik, janggal dan membuat saya penasaran itu. Botol kecap raksasa…

29 tahun sudah

Uncategorized

17 April 2007, 29 tahun sudah usiaku.

Terimakasih ya Tuhan atas berkat dan karunia yang telah Engkau berikan kepadaku. Inilah doaku…

Bapa kami yang di Sorga

Dikuduskanlah Nama Mu

Jadilah Kehendakmu

Di Bumi seperti di dalam sorga.

terbebas dari penindasan, pembodohan dan penghisapan keringat manusia

Berikanlah kepada kami pada hari ini makanan secukupnya

kami jadikan makanan itu sebagai energi perjuangan kami

dan ampunilah kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami

tetapi penindasan dan penghisapan keringat manusia atas manusia yang lain akan terus kami lawan

dan janganlah Engkau Masukkan kami ke dalam pencobaan

tetapi bebaskanlah kami dari segala yang jahat.

sebab alam ini Engkau jaga dan ciptakan ya Allah, manusia serakahlah yang menyebabkan tumbuhan dan binatang serta manusia dalam penderitaan, semoga kami bukan bagian golongan yang jahat tetapi bagian dari Umat Mu yang menjaga alam ini dari pemusnahan

Karena Engkaulah Empunya Kerajaan Sorga

kemarin, sekarang sampai selama-lamanya

amin.

Kiranya Allah Bapa memberkati kerja-kerja kami, sehingga kami seperti pohon-pohon yang berbuah, sebab kami tak ingin ditebang dalam kefakiran, seperti Firman Mu yang disampaikan para Nabi dan rasul, kiranya Kasih dan Karunia Mu memberikan keteguhan bagi kami dalam memperjuangkan kaum yang dimiskinkan, yang tertindas, yang diliputi kabut gelap pembodohan.

Engkaulah Tuhan, Allah yang menghadirkan Nabi dan Rasul-rasul ke dunia ini. Pada Mu lah kami berserah. Hanya kepada Allah semata kami tunduk dan takut, hanya kepada Allah kami menyembah. Tiada menduakan kekuatan Nya, bersama Nya kami berjuang. Dengan segenap hati, jiwa dan akal budi, sujudku kepada MU.

amin

pulau seribu

Uncategorized

perahu plastik

ombak plastik

kerang plastik

dermaga plastik

ikan plastik

layar plastik

pohon plastik

burung plastik

angin plastik

limbah plastik dan aku bersamamu mengelana ke pulau seribu benteng plastik

masa lalu plastik

rumah plastik

makam belanda plastik

suaka margasatwa pulau rambut penuh sampah plastik di atas menara plastik foto foto

dengan kamera plastik…

kawan, istrinya melahirkan

Uncategorized

pasar minggu baru pukul 00:00

Suasana malam yang dingin, sisa-sisa pohon tumbang ketika badai kemarin melanda Jakarta Selatan masih nampak teronggok di pinggiran jalan. Stasiun Pasar Minggu Baru remang-remang. Beberapa gelandangan tertidur beralas kardus, meringkuk dalam mimpi malam. Di pinggir stasiun yang lengang itu terdapat sebuah bengkel dan warung rokok kecil yang tertutup. Cahaya bola lampu menerobos keluar dari ruang sempit yang sepi.

Aku tak dapat membayangkan kesulitan yang kau hadapi kawan. Ketika ketuban istrimu yang telah mengandung 8 bulan pecah di tengah malam. Kau pasti panik, di tengah krisis yang tak berkesudahan ini Taxi yang mau mengantar ke rumah sakit sulit dicari, jika argonya mesti hutang dulu. Sedangkan admisnistrasi rumah sakit pemerintah harus segera di urus jika istrimu ingin segera ditangani. Pasar Minggu Baru pastinya cukup jauh dari Salemba. Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo atau RSCM menjadi pilihan. Bukan kualitas penanganannya atau bukan karena fasilitas yang memadai. Pilihan itu jatuh karena desakan. Toh anak dan istri harus selamat dengan biaya yang terjangkau.

Kemarin sewaktu aku mengunjungimu untuk membesuk istrimu, hari sudah malam. Aku datang agak sore. Harus menunggu informasi di mana kamu dan istri serta anakmu berada. Semua handphone tak dapat dihubungi. Handphonemu pun tak aktif. Aku sempat bicara padamu tentang suatu harapan. ” Coba kamu hidup di Cuba, pastinya istrimu akan mendapat perawatan yang memadai, semua biaya rumah sakit gratis”.

Cuba negeri Komunis, padahal komunisme diharamkan di Indonesia. Tetapi dalam hal pelayanan kesehatan dan pendidikan, negeri komunis itu jauh lebih baik dari negeri dengan falsafah Pancasila yang berketuhanan ini, Republik Indonesia. Lucu memang. Ada negar dengan falsafah Pancasila, yang mengedepankan kemanusiaan dan keadilan sosial, tetapi rumah sakitnya mahal-mahal. Manusia kelas rendahan adalah varietas murahan di Indonesia. Hanya punya kesempatan jadi buruh atau kuli. Insinyur sepertimu pastinya kalah bersaing dengan orang-orang yang punya koneksi, sebab pemerintah tidak pernah menjamin generasi ini dalam hal pekerjaan. Pilihan lain bagi kelas rendahan seperti kita ini adalah kuli atau kalau mau melawan jadi perampok Bank. Tidak mungkin kita korupsi, sebab tak ada yang bisa dikorupsi. Hahahahahahhaha

Indonesia ini memang kontras. Jomplang sana sini. Di berita koran, radio dan televisi, hari-hari belakangan ini mencuat berita Korupsi bekas kepala Bulog. Temuan KPK (Komite Penanggulangan Korupsi) membuktikan jumlah yang luar biasa bagi seorang kepala Bulog. Jutaan Dollar! Bayangkan saja jika uang itu ada di rumah kecilmu yang ada di pinggir rel itu! Pasti penuh, pasti membuatmu tak bisa tidur. Bersamaan dengan hangatnya berita itu di media massa, aku menjumpaimu dalam kesulitan. Mengantar istrimu ke rumah sakit, tak ada biaya dan kebingungan tersirat di wajahmu saat kita berjumpa. Kau bercerita singkat tentang kejadian kemarin, saat kau menghadapi masa darurat. Aku ini suka sekali berimajinasi dan menghayal, tetapi cerita singkatmu tak mampu aku bayangkan. Terlalu sulit membayangkan adegan itu. Aku suka membuat film, kesulitan yang aku hadapi belum pernah aku bayangkan sebagai film. Realis memang sulit. Tetapi aku bisa merasakan . Manusia dalam kesulitan…

Malam itu kita ke warung kopi, kamu memesan mie rebus instan dan air putih, kawan-kawan seperjuangan di jalanan dulu hadir. pertemuan yang tak terduga. Tidak ada perubahan, padahal dulu kita bergerak di jalanan, demonstrasi dan berorasi tentang perubahan. Perubahan terjadi besar-besaran, sepeerti gelombang ganas, eeeh… kita terjerembab ke pinggiran. Berada di luar perubahan itu. Malam itu di warung kopi. Satu meja panjang kita kuasai. Bukannya membicarakanistri dan anakmu, temen-temen malah membicarakan seminar. Bikin proposal dan bagaimana cari duitnya. Ini tidak berubah, suasana yang masih seperti dulu, saat kita sering bikin aksi dan diskusi. Lokasinya tetap saja di Gedung Joang. Sepertinya Gedong Juang menghegemoni temen-temen. Tak adakah tempat lain selain gedung yang dulu Chairul Saleh dan Soekarni serta kawan-kawan preman senennya bercokol itu?

Tapi aku melihat temen-temen survive, bertahan hidup dan tidak mau manja. Mereka mau bikin seminar tentang Jakarta, memanfaatkan momentum hari jadi kota Jakarta untuk bikin seminar. Satu niatan yang baik.

Kawanku, saat aku berkunjung dan menemuimu, aku menemui berbagai realitas pararel. Istrimu melahirkan prematur, kita bertemu dengan kawan-kawan yang turut melahirkan perubahan. Perubahan yang prematur juga. Makanya Indonesia jadi begini. Aku seperti memungut satu scene pada kejadian ini. Scenario film Royan Revolusi yang tengah aku kerjakan, bercerita tentang anak manusia yang menyaksikan berbagai realitas pararel pasca perubahan. Penyakit yang melanda semua orang, yang terlibat maupun yang tidak terlibat pada perubahan itu. Ya satu scene yang menceritakan kesulitan manusia secara detail. Realisme yang absolut.

Malam itu aku pulang, naik motor bersama pacarku. Menembus malam yang temaram lampu merkuri. Menyaksikan pohon-pohon dan tiang lampu yang siluet. cerita berganti…

Masyarakat Film Indonesia Dilema

Uncategorized

Sahabat yang baik,

Dunia kecil film Indonesia mula bergeliat sejak tahun lalu, lantas tahun inipun terus bergeliat. Bertanding dengan berbagai isue besar tentang korupsi dan bencana. Menyusup di antara tema-tema politik yang rentan konflik dan berbagai tajuk berita basi yang sejak dulu sama saja. Seperti mendengar lagu lama dengan aransemen yang baru. Semoga tak salah jika saya memilih tidak mengkonsumsi tayangan televisi atau berita koran yang membingungkan dan lantas membuat saya depresi.

Hal menarik yang dapat menjadi obrolan warung kopi saat ini adalah dilantiknya anggota baru BP2N. Badan Pertimbangan Perfilman Nasional. Tentunya menjadi menarik ketika sebagian di antara mereka yang dilantik adalah orang-orang yang pernah duduk bersama dalam satu komunitas para penggiat film Indonesia yang kemudian menamakan diri sebagai Masyarakat Film Indonesia atau MFI. Kesediaan untuk dilantik sebagai anggota sebuah lembaga yang di jaman Orde Baru, ketika Departemen Penerangan masih ada begitu kuat kedudukannya sebagai salah satu lembaga kontrol itu sungguh merupakan pilihan yang berani dan tidak main-main. Dalam negara demokrasi, mau tidak mau semua orang harus menghargai keputusan seseorang untuk memilih atau dipilih.

Tetapi bagi saya, kejadian terbaru ini seperti panggung baru yang terang benderang menyajikan drama. Penuh lampu warna warni dengan sajian lakon lama tetapi setingnya baru. BP2N, seperti diketahui oleh sebagian penggiat film Indonesia, adalah satu lembaga yang didirikan dengan komposisi dari berbagai organisasi masyarakat, perwakilan pemerintah dan aparat keamanan maupun individu dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Sejarah mencatat, BP2N sebagai lembaga yang telah menghasilkan banyak sekali pembinaan film, sangat menarik mengkaji film-film di jaman BP2N. Sebuah lembaga yang diatur oleh produk perundangan dan dijaga ketat oleh menara gading Orde Baru yang tak terjamah oleh kekuatan massa kritis sekalipun, pada masa itu.

BP2N adalah kontrol, kontrol adalah praktek kekuasaan untuk stabilitas keamanan nasional. Keamanan nasional adalah Stabilitas politik, supaya kekuasaan terus berjalan tanpa ada gangguan. Maka film yang diproduksi saat itu sebisa mungkin mendukung kerja-kerja kekuasaan. Sebagai contoh, tidak boleh sebuah film menyinggung dan melanggar norma yang terkait dengan SARA; Suku, Agama dan Ras. Anggotanya diatur dalam juklak: Petunjuk pelaksanaan sebagai anggota badan yang berfungsi sebagai bagian mesin kontrol kekuasaan.

Tetapi sekali lagi, dalam negara demokrasi, manusia harus punya kesadaran untuk legowo. Menerima keputusan orang lain. Perbedaan semestinya menjadi wacana yang menarik, ditaruh dalam diskursus dan diserahkan pada dialektika sebagai sebuah bagian dari kesepakatan bernegara. Bahkan di dalam alam demokrasi, sebagai taman sari perbedaan, siapapun itu, apapun kepentingannya semestinya mendapat ruang. Demokrasi bukan tiran, tetapi pada satu sisi, demokrasi bisa jadi menjadi tiran manakala demokrasi itu tidak mengakomodasi adanya perbedaan.

Dulu di jaman konflik politik kebudayaan 65, ketika Manikebu dan Lekra berseteru, bangsa Indonesia baru 20 tahun merdeka. Kesadaran atas demokrasi masih samar. Revolusi dan kekerasan perang yang mereka alami (angkatan masa itu) menjadikan manusia saling membunuh. Yang komunis harus dibantai, yang beragama pasti benar. Begitulah demokrasi yang dikonstruksikan pada masa itu. Tentunya ini doktrin yang pada akhirnya kini kita tahu, sungguh menyesatkan arah perjalanan republik Indonesia yang besar ini.

Dulu yang Lekra harus di hilangkan, di bui di Pulau Buru, Nusakambangan, Bukit Duri atau Salemba dan Cipinang dan penjara-penjara lainnya yang tercatat maupun tidak. Pembunuhan membuat mampet jalannya dialektika demokrasi. Tidak ada lagi diskursus kebudayaan yang terbangun sejak pembunuhan-pembunuhan itu, manusia menjadi ganas. Orde Baru yang berdiri dipimpin Soeharto yang kebijakannya represif. Otoriter, militeristik, menjadi agama baru, Markas tentara bersanding dengan Gereja, Pura, Masjid dan Wihara. Demokrasi Pancasila katanya, prakteknya Demogergaji pencak jilat. Asal Bapak Senang kenapa tidak?

Dan BP2N lahir dari sejarah itu. Menjadi penjilat kekuasaan. Bagaimana mungkin seseorang melakukan perubahan jika dia berada di dalam sebuah sistem yang meninabobokkan dengan gaji, akses kekuasaan, anggaran dana yang cukup besar, serta menjadi raja kecil yang dapat menentukan ke mana arah perfilman nasional. Beberapa anggota yang sadar dan punya akal sehat mulai menyatakan sikap. Keluar dari BP2N. Inipun harus dihargai, hati nurani mungkin lebih bicara.

Jika boleh jujur, angkatan sekarang ini mesti berani mengkoreksi. Tak perlu disebutin nama. Ada yang pernah menjabat ketua BP2N, ada yang anggota. Dan kini mereka masuk lagi ke dalam gedung yang pernah disegel PLN karena tak bayar iuran listrik bulanan itu. Tentunya alasan yang baik untuk melakukan perubahan dari dalam.Tetapi sadarkah jika yang sedang dihadapi generasi ini adalah mutan-mutan Orde Baru?

Seperti Kupu-kupu yang tak mengenali lagi kepompongnya. Itulah yang terjadi pada Orde Baru, bahaya laten, yang bermetamorfosa. BP2N telah bermetamorfosa, sehingga mampu membuat mata orang-orang film Indonesia silap. Mungkin di antara teman-teman yang menyediakan diri untuk dilantik ada sebersit harapan. Barangkali dapat merubah dari dalam. Seperti di atas saya tulis, beranikah merubah petunjuk dan pelaksanaan yang telah diatur dalam perundangannya?

Ini adalah babak baru bagi Masyarakat Film Indonesia sebagai komunitas dan bagi masyarakat film Indonesia sebagai kompleksitas seluruh pihak yang berada di dunia kecil perfilman nasional. Menentukan sikap adalah satu hal yang sulit. Menentukan arah gerakan untuk mencapai perubahan yang menjadi cita-cita bersama ternyata sulit, menghargai keputusan orang lain dan lantas bertanding dalam diskursus ternyata lebih sulit, MFI adalah satu komunitas yang terdiri dari orang-orang terkenal, artis-artis, produser dan sebagian pekerja film, gembel depresif dalam perfilman nasional seperti sayapun boleh masuk. Pintu MFI itu terbuka bagi siapapun.

Sikap MFI sebagai komunitas sudah jelas, mencabut Undang-undang Perfilman adalah mutlak dan menjadi sikap organisasi, sikap tentunya tidak bisa dikompromikan. Melawan adalah bagian dari sikap. Dilema yang dihadapi MFI tentunya adalah dilema bersama. Mengakui keberadaaan teman-teman yang berada di BP2N sekarang tentunya adalah dilema. Tetapi MFI merupakan kesatuan sikap. Satu roh dan tujuan.

Mencabut UU Perfilman berarti tak lagi mengakui BP2N sebagai mata rantai dari poduk perundangan dan peraturan yang lahir Orde Baru. Kalau tidak mengakui lagi kenapa harus ada reaksi? Sudahlah..mari jalan terus. Bikin film, ngobrol film, diskusi film, workshop film dan perlawanan harus terus berjalan. Dalam perjalanan tentunya ada yang berhenti, ada yang pulang, ada yang jajan, ada yang kencing. Bagi yang kuat, mari terus berjalan.

Tentunya MFI lahir dari kesadaran, jika kesadaran itu pudar, mau kemana MFI sebagai sebuah wadah perlawanan?. Merapatkan barisan, rendah hati dan merekrut semua pihak untuk peduli pada perfilman nasional adalah yang terbaik untuk melakukan perlawanan terhadap sistem Orde baru yang telah bermetamorfose. Teman tetap menjadi teman, sahabat tidak akan pernah terlupakan. Tetapi jika dalam perjalanan menuju perbaikan sinema Indonesia ini mereka tidak mau ikut, ya selamat tinggal. Toh nilai-nilai mesti terus diperjuangkan. Walaupun sendiri…

Selamat menghadapi jalan terjal dalam kancah peta buta perfilman nasional.
salam

tek kotek kotek kotek
anak ayam terus berkotek
tek kotek-kotek kotek
nanananananannana…

(Seperti pernah dinyanyikan Mira Lesmana di aksi MFI di Bundaran HI, Jakarta)

lumpur lapindo

Uncategorized

Berita Televisi hari ini tentang semakin tak terbendungnya lumpur panas yang keluar dari dalam bumi Sidoarjo, Jawa Timur. Jalur Surabaya ke Malang dan sebaliknya lumpuh, jalur kereta api mengalami nasib yang sama. Sementara Tim Nasional yang dibentuk pemerintah untuk menangani keganasan lumpur Lapindo terus berupaya meminimalisasi dampak dan melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang terus menerus timbul dari meluapnya lumpur panas. Permasalahan yang muncul saat ini menjadi sangat kompleks. Bukan saja berdampak pada keresahan masyarakat yang rumahnya, kampung atau desanya tenggelam, akan tetapi sudah melebar ke permasalahan sosial, ekonomi bahkan politik. Lantas apa yang dilakukan Pemerintah? Lebih dari sekedar membentuk tim yang cakupannya Nasional? Tidak ada.

Tidak ada upaya pemerintah secara tegas menangani permasalahan lumpur Lapindo. Sejak 29 Mei 2006 Lumpur panas menyeruak dari perut bumi. Lumpur yang terus menerus mengeluarkan gas dan panas itu akibat kesalahan yang dilakukan pihak PT Lapindo Brantas, sebuah perusahaan yang bergerak dalam eksplorasi migas di Indonesia. Beberapa nama pejabat yang berkuasa tercantum sebagai pemilik perusahaan besar tersebut. Persoalan yang muncul kemudian menjadi rumit. Belum ada tindakan hukum oleh penegak hukum di Republik Indonesia kepada orang-orang yang terlibat dalam kasus ini. Sepertinya penyelesaian secara hukum sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik selalu larut oleh gegap gempita permasalahan politik nasional yang semakin hari menjadi compang camping tambal sulam.

Belum ada ahli yang dapat memastikan secara tepat, kapan lumpur itu akan bertenti, belum ada tindakan yang berdampak nyata dalam menangani bencana tersebut. Biar bagaimanapun, lumpur yang berasal dari dalam bumi itu adalah bencana, sulit ditanggulangi dan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Ekosistem terganggu, kemusnahan ada di depan mata.

Menghadapi bencana yang kompleks ini, semestinya sejak awal, aparat penegak hukum bertindak tegas. Orang-orang yang bertanggungjawab mesti segera diperiksa dan jika terbukti bersalah harus segera dihukum. Orang-orang yang dirugikan secepatnya harus diproses dan disampaikan ganti rugi yang layak. Janji-janji dan tindakan menutup informasi harus dijauhi sebagai upaya keterbukaan yang harus dikedepankan. Seharusnya Pemerintah berperan aktif untuk menyelamatkan rakyat yang terkena bencana, mencari solusi terbaik. Tim nasional penanggulangan bencana lumpur Lapindo tentunya memerlukan biaya yang besar dalam menangani bencana yang kompleks ini. PEran Tim Nasional, semestinya juga mendukung upaya penegak huku dalam melakukan hukum bagi orang-orang yang bersalah dalam kasus ini.

Bencana sudah semakin kompleks, tetapi solusi belum ada. Lalu apa yang tengah terjadi pada bangsa ini? Jika terjadi bencana lagi, yang diakibatkan oleh ulah suatu perusahaan besar yang notabene dimiliki oleh sebagian penguasa Republik ini? Akankah rakyat menerima haknya sesuai dengan kerugian yang diderita?

BEncana akibat ulah pemilik modal seperti luapan lumpur Lapindo adalah pelajaran bagi kita semua, bahwa permasalahan sepelik apapun di Indonesia ini sulit diselesaikan jika POlitik dan Kekuasaan berpihak pada kepentingan modal dan kepentingan individu. Keresahan sosial terjadi di Sidoarjo, dalam undang-undang jelas etrtulis, siapapun yang mengganggu keresahan masyarakat pasti terkena sangsi hukum. Sudah hampir satu tahun, desa-desa tenggelam, jalanan umum tenggelam, rel kereta api tenggelam, masyarakat resah…kemana lagi mau mengadu?

Tuhan…bencana apakah ini?