Filmmaking, antara Buah atau Sari Buah?

Uncategorized

Catatan Catatan Yang Tertinggal Dari Film Dokumenter (3)

Guys…Di Busan Internasional Film Festival 2014 saya diundang menghadiri acara penting. Malam itu beberapa filmmaker mendapatkan anugerah award. Satu di antaranya Joshua Oppenheimer sutradara asal Denmark yang filmnya mungkin kalian udah tahu ya, itu tuuuh “The Act of Killing” (TAoK) dan “The Look of Silence”(TLoS).

Malam itu guys kalok gak salah tanggal 10 Oktober 2014, Joshua dapat Busan Cinephile Award for best documentary, itu penghargaan bergengsi guys, ampe ngiler liatnya hahahaa cesss…cesss…

Bersama Joshua Oppenheimer dan ibu Kim Hyong Syuk di BIFF 2014

Tapi di catatan ini guys, bukan penghargaannya yang ingin saya bahas, tapi filmnya. Apa sih yang menarik? Gini guys, tahu gak perihal peristiwa 65? Itu Guys yang tiap bulan September tanggal 30 dari sejak jaman Orde Baru sampe jaman pemerintahan era milenia ini diperingati sebagai hari pemberontakan PKI? Kemudian tanggal 1 Oktobernya jadi hari Kesaktian Pancasila?

Nah, guys sebagai generasi milenia kita kayaknya penting deh tahu sejarah peristiwa 65 itu. Kalau kita riset guys, banyak banget catatan sejarah yang simpang siur perihal siapa yang berontak dan siapa yang menunggangi peristiwa yang mengakibatkan ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) dibantai akibat perang saudara sesama orang Indonesia waktu itu.

Tapi guys, saya ga mau bahas soal itu yaaa… maklum guys itu sejarah sensitif, kagak enak dibahasnya. Trus bahas apa dong oppaaaaa? Hahaa begitu tuh kalok terpengaruh sama budaya popnya Korea, nanya nya pake Oppaaa… ayomg haseo Opaaaa… xoxoxoxxoxoxo

Rongsokan Film G 30s/ PKI di PFN

Okey guys, kita mulai dari pertanyaan bagaimana ceritanya si sutradara Joshua Oppenheimer bisa menemukan sosok Adi Rukun dan menjadi karakter utama di filmnya, bagaimana awalnya Joshua bisa meletakkan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatra Utara yang disegani fidunia wal akherat (hehe di akherat disegani apa tidak gak tahu ya guys) bernama Anwar Kongo ke dalam filmnya? 

Kalau kita dapat jawaban dari dua pertanyaan itu, guys maka insya Allah kita bisa mulai tahu nih bagaimana film yang ceritanya kuat kayak TaOK dan TLoS bisa dibikin. Saya menyebutnya bukan hanya dokumenter guys, tapi Cinematic Documentary… hehe keren ya guys rasanya dengar istilah itu kemrenyes gimana gituuhh batin ini seolah olah…weww

Courtesy:Wikipedia

Courtesy: Wikipedia


Anyway… okey…

Begini guys, 1965 adalah peristiwa besar guys, ada melibatkan banyak tokoh, organisasi, peristiwa, kepentingan dari luar negeri dan macam-macam deh, very complicated sampai-sampai CIA (Dinas Intelejen Amerika) membuka data 30 tahun kemudian bahwa mereka terlibat dalam urusan 65 di Indonesia. Tuh kaaaan rumit kaaan guys…ngeriii boooo…

Dari kompleksitas kisah-kisah 65 itu guys, seorang filmmaker dituntut untuk mengambil cerita yang paling keren, menarik dan enak dilihat. Yaaaah tahu sendiri ya, film-film seputar 65 baik fiksi maupun dokumenter biasanya berdarah darah ekstra kesedihan guys… bikin takut aja kalok pas kencing sendirian di belakang rumah hahahaa.

Di sinilah kecerdasan seorang Joshua Oppenheimer diuji guys, dia ngga kejebak ke bentuk profil seorang Anwar Kongo atau Adi Rukun pada dua film yang berbeda itu. Joshua berhasil menemukan inti sari semua kompleksitas peristiwa menjadi sederhana. Dari aktifitas tukang jual kacamata Josua memulai bercerita untuk “The Look of Silence”. Hasilnya keren guys. Kacamata, peralatan periksa mata, dan berbagai aktifitas Adi Rukun sebagai penjual kacamata bisa menjadi semacam simbol bagaimana bangsa ini melihat persoalan 65 dalam keseharian setelah peristiwa itu lama berlalu, peristiwa yang meninggalkan trauma, meninggalkan jejak pilu bagi anggota keluarga, baik pelaku maupun korbannya. Tuh guys mulai terlihat gak apa yang mau saya bahas di catatan ini?

Anwar Kongo sebagai sosok yang ditakuti, dia terobsesi oleh lakon-lakon Hollywood. Widiiihhh cadas kan? Semacam Iblis berhati Rinto ( penyanyi dengan lagu lagu melankolis di tahun 80-90 an). Joshua memang tidak gamblang mengungkap fakta bahwa CIA terlibat dalam peristiwa 65 di Indonesia yang mengakibatkan suksesi Jendral Soeharto menjadi presiden menggantikan Soekarno. 

Obsesi Anwar Kongo sebagai aktor film, dan kecintaannya pada film-film Hollywood, terinspirasi Al Pacino dll itu semacam simbol bahwa Amerika mainded sudah ada di kepala orang Indonesia sebagai “Hero” secara visual…. guys berat yaaak? Nggak juga sih guys… ini kayak coca cola campur kebab sebenarnya… hahaha bikin kenyang otak..

Woiiiii apa hubungannya dengan buah sama sari buah? 

Courtesy: Wikipedia

Eeeh… iya guys, ckckckckcck jadi ngelantur ya. Okey guys begini… catatan di atas guys membuat kita tahu bahwa benda, peristiwa, suasana psikologis ternyata bisa menjadi perantara bercerita yang menarik. Jadi… nggak perlu wawancara kayak di film Banda the Dark of Forgotten Trail itu wawancara melulu… hehehe di Wikipedia juga banyak… anak kemarin sore yang baru ikutan workshop film juga bisa tuh bikin begituan… ups nggak juga kelessss…

Jadi guys, supaya kita nggak bikin film yang kayak Banda itu, yang isinya udah ada di wikipedia dan gambar-gambar cantiknya juga sebelumnya dah banyak orang upload di Instagram. Supaya kita cerdas dikit yaaa bikin film yang ngga pernah dibahas di sosmed maupun susah dicari materinya di Wikipedia… itulah guys yang dinamakan sari buah nya cerita. 

Tentu ini butuh riset mendalam guys, dananya juga ga sedikit, tapi yang lebih penting adalah seorang cinematic documentary filmmaker harus peka dan banyak membaca sehingga dia bisa memahami suatu peristiwa dan mengambil intisari dari peristiwa itu, dengan berangkat dari peristiwa atau benda yang kecil namun kemudian bisa membawa kepada cerita yang besar. 
Joshua Oppenheimer ga perlu datang ke Museum Loebang Boeaya deket Asrama Haji Pondok Gede sana untuk menceritakan peristiwa 65, dia tidak perlu wawancara Jendral Soeharto ( orangnya dah gak ada) untuk mengklarifikasi ada dan tidaknya pembantaian anggota PKI atas perintahnya sebagai pangkopkamtib berbekal Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) waktu itu. 

Dalam bertutur, Joshua membutuhkan sosok yang tak pernah dikenal dalam catatan sejarah Indonesia, seorang anak lelaki yang tumbuh dalam suasana traumatik akibat peristiwa 65 karena anggoa keluarganya dibantai orang orang yang memiliki kedekatan dengan keluarganya. Atau Anwar Kongo yang suka bercerita secara detail
Tentang bagaimana ia membantai setiap korbannya dengan bernyanyi, bersiul dan menari-nari. 

Dua karakter yang luput dari catatan besar dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia itu ternyata jadi karakter yang sangat kuat, menjadi jembatan naratif dalam film dokumenter, dan Joshua dengan kecerdasannya mampu memungutnya dari tumpukan rongsokan sejarah yang hanpir terlupkan dan memolesnya menjadi catatan visual yang tentunya kadi keren dalam bentuk film.

Guys… layak ya film kayak gitu masuk nominasi Oscar? Xixixiixii…

Courtesy: gettingeasy.com

 

Jadi Guys, ketika semua cerita besar saat mau diwujudkan harus menggunakan budget besar, kita harus sadar ya bukan anaknya kongklomerat yang kaya raya sehingga gampang dapat duit untuk bikin film, atau pinter bikin proposal film budget gede,  kita berangkat dari diri sendiri aja dulu, bagaimana dari kolongmelarat ini guys kita mulai setia meneliti hal hal kecil, karena dari situ kita bisa berangkat untuk menceritakan hal-hal besar. 

Misalkan; Panglima Besar Jendral Soedirman, kita bisa memulai membuat film dengan cerita kecil ketika seseorang memberikannya jas panjang yang sampai hari ini menjadi sangat fenomenal. hayooooo… Siapa yang tahu cerita darimana jas panjangnya Jendral Soedirman berasal? Gak ada yang tahu kaaan?

Misalkan, cerita tentang Lagu Indonesia Raya, berangkat dari kisah WR. Supratman mencari satu lembar catatan not balik yang hilang waktu dia menciptakan dan mangaransemen lagu itu, atau bagaimana menjelang malam 28 Oktober itu, WR Supratman sibuk mencari toko penjual senar biola karena satu senarnya putus, sementara besok sudah terjadi momentum Sumpah Pemuda.
Misalkan; Cerita tentang Kyai Ahmad Dahlan, berangkat dari cerita perpustakaan yang ia bangun sebagai tempat interaksi dan pengajaran kepada murid-muridnya. Guys… nih cerita aja ya, bayangkan guys, film tokoh tokoh p legendaris Indonesia di film film Indonesia jarang yang ada adegan membaca buku, atau mendiskusikan isi buku, guys! Padahal mereka itu tokoh yang makan buku hahaha

Artinya apa tuh? Artinya filmmaker selalu membuat film berdasarkan gelondongan buahnya, bukan melakukan riset mendalam untuk menemukan sari buahnya… ah masaaaak? Xixixiixi beneran guys!

Jadi gitu guys curcol saya perihal memilih menceritakan buah atau menceritakan sari buahnya… semoga catatan ini berdaya guna ya guys… jolali share kalau merasakan manfaatnya yaaa…

Selamat berpikir ya guys… moga moga bisa sampai kepada permukaan bulan kayak Neil Amstrong, atau minimal melayang layanglah di luar angkasa kayak Yuri Gagarin… jangan lupa menginjak bumi guys, kameranya masih di tripod! Hahahahahaa

Guys, soal pendidikan film ya, aku kok pengen kalian merasakan kayak Neil Amstrong pertama kali nginjal kakinya di Bulan. Persetan itu fiksi atau dokumenter! 

Semoga ini bukan atatan yang berbahaya…. Xoxoxoxoxoxoxo

Satu pemikiran pada “Filmmaking, antara Buah atau Sari Buah?

Tinggalkan komentar