Indonesia yang Besar

Uncategorized

Obrolan aku dengan seorang sutradara muda Indonesia berbakat itu berlangsung malam hari. jam sebelas malam, di sebuah kompleks pertokoan yang sudah sepi. Di lantai paling atas. dinding-dindingnya ditempeli poster dengan desain yang apa adanya, bebas-bebas saja. Obrolan panjang soal film, apapun dikaitkan dengan film, film Indonesia tentunya.

Setiap kali membicarakan film, aku seperti masuk ke dalam ruang imajinasi yang luas. Tidak mampu membendung segala keinginan mise en scene yang ingin tumpah dari kepalaku. begitu pula saat aku ngobrol dengan kawan yang merupakan seniorku di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta itu.

Namanya Harry Suhariyadi. Pangilan akrabnya Harry Dagoe,  filmnya yang cukup fenomenal adalah Pachinko and Everyone’s Happy. Kantornya yang di kompleks pertokoan Wijaya itu cukup luas, hanya ada beberapa meja dan peralatan ATK apa adanya. Waktu aku naik ke lantai empat dalam bayanganku terlintas film Chunking Expressya sutradara Wong Kar Way. Entah mengapa begitu, tiba-tba saja terlintas.

Dengan secangkir kopi, obrolan kami semakin seru. Ujungnya di jam tiga pagi lebih sekian menit. Harry Dagoe akan bikin film, judulnya Cinta Setaman. Dari apa yang dia ceritakan ke aku malam itu, nampaknya film ini berisi kerusuhan hidup yang menghiasi indonesia dalam keseharian. Pernak pernik peristiwa besar yang direpresentasikan dari sekian chapter; lonte, homo Sexual, kuli, keliaran manusia, penyakit kelamin, kemabukan, huru hara, eksploitasi manusia atas manusia, sex… dan aku teringat sebuah tempat di Tanah Abang. Laboratorium sosialku yang sekian tahun ini aku tinggalkan. Tanah Abang tanah abang yang kelam, yang menghilangkan perjakaku, yang menghantar aku mengenal dunia Jakarta yang kelam ini hingga ke keraknya yang ganas.

Pernah suatu malam, aku datang ke kawasan Monas, aku bertolak pinggang menghadap Monas, aku berteriak sekeras-kerasnya, “Aku tahlukkan kau Jakarta!”. Orang-orang menengok ke arahku, mungkin mereka menganggap aku orang yang baru saja gila.

Indonesia Grande, demikian Hary Dagoe memberikan judul filmnya. Indonesia Grande adalah Indonesia Besar, dari Sabang sampai Merauke, yang baru saja memperingati 100 tahun kebangkitan nasional dengan gegap gempita, peringatan yang dirayakan dengan iklan-iklan megah di televisi dan penampilan beberapa politisi sebagai bintang iklan yang intinya tetap dagangan politis.

Indonesia Grande adalah Indonesia sebagai cita-cita besar, dimana manusia dan cita citanya menjadi benda besar dengan samudera, pegunungan, tambang, berikut hutan, udara, laut dan kekayaan alam berlimpah di dalamnya. Indonesia adalah benda raksasa, sebuah negara yang terapung dengan tujuhbelas ribu limaratus lebih pulau dalam lingkar luas lautan dan  samudera, seperti kapal induk dan ribuan sekoci di sekitarnya.

Indonesia yang besar itu terus menerus digerus oleh karat besi tua yang dari tahun ke tahun semakin rapuh oleh tekanan ekonomi dan mentalitas yang bobrok. semuanya menjadi komoditas, barang dagangan yang selalu laku dijual, propaganda penguasa, kotbah kaum ulama yang mendistribusikan kebencian dalam bentuk aksi terorisme dan kekerasan, hak asasi manusia maupun demokrasi tumplek blek jadi satu adonan yang meriah.

Indonesia Grande adalah wajah dari suasana yang kacau, Indonesia Grande adalah Indonesia to day, warta berita yang selalu dilihat sebagai kriminal dan chaos, simpang siur antara ketegangan dan keindahan. Estetika Indonesia Grande adalah kawinnya realisme dan sosial. bercumbunya estetika bunga bangkai dan sedap malam yang aduhai wangi serta sedap dipandang. Ngobrol dengan Hary Dagoe seperti bertemu rangkuman berita pos kota, koran lampu merah dan liputan kriminal di televisi. suatu hal yang setiap hari dimakan bangsa ini, lauk pauk kekerasan!

Aku suka mendengarkan ceritanya. Kegelisahannya seperti mampir di sajak-sajak Chairil Anwar, penyair angkatan 45 yang mati muda karena sipilis dan TBC, maupun tulisan-tulisannya Iwan Simatupang.

Bergelora tetapi bisu, mengamuk tetapi rentan, menghibur tetapi subversiv. Yang paling mengejutkan aku adalah ketika kawan satu ini bicara tentang film as ideology. aku seperti melihat cermin di depan wajahku. Film sebagai ideologi di sini alangkah jauh dari popcorn dan tiket cetakan komputer, dengan ruang gelap dan seting dolby suround di ruang-ruang bioskop 21. Aku menterjemahkan apa yang dia sampaikan. Mencoba memaknainya. Indonesia to day, Indonesia Grande, seperti sinema!!!

Menjelang subuh aku pamit pulang, di salah satu sudut ruangan, aku lihat selembar foto casting pemain berukuran 4 x 6 beridentitas seorang laki-laki tertempel dengan besi steples nempel di jidatnya!